Kamis, 27 September 2012

BELAJAR TAWAKKAL DARI SE-EKOR BURUNG





SETIAP CIPTAAN ALLAH PASTI MENGANDUNG HIKMAH BAGI ORANG-ORANG YANG MENGGUNAKAN AKALNYA.
 


"Sungguh, seandainya kalian bertawakal kepada Allah sebenar-benar tawakal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.” (HR. At-Tirmidzi).


 


Ternyata ada beberapa sifat dan sikap yang dilakukan oleh burung dalam mencari makanannya, yaitu:


 


1.     Burung selalu bangun pagi


 


Tidak ada burung yang bangunnya kesiangan, kecuali burung sakit, atau burung malam (burung hantu). Namun jika dilihat secara umum, burung selalu bangun pagi. Ia bangun dengan penuh optimisme, riang dan gembira tanpa ada rasa khawatir sedikitpun akan makan apa hari ini, tidak pernah khawatir akan rizki yang pasti sudah disiapkan oleh Allah. Bahkan di celah persiapannya, dia sambil sibuk bernyanyi dan membangunkan manusia, seolah dia menunjukkan kepada kita akan rizki Allah yang selalu siap kita jemput. Seolah ia menunjukkan kepada kita bagaimana ia bertasbih kepada Allah, melalui kicauannya.


 


Contohlah burung saat ia bangun pagi, ia selalu menyempatkan diri untuk bersyukur, memuji Allah yang Maha Pemurah, dan bertasbih kepada Allah melalui nyanyiannya. Kita diberi infrastruktur jauh lebih istimewa daripada  burung, mari kita gunakan waktu kita untuk bangun pagi, bersyukur, bertasbih dan bermunajat kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh burung.


 


2.     Burung berusaha berdiri, persiapan. sebelum terbang


 


Dalam usaha mencari rizki, kita juga harus melakukan “pemanasan”, persiapan fisik maupun mental, maupun fikiran guna kesempurnaan ikhtiar kita.


 


3.     Burung terbang dan  mengepakkan sayap melawan gravitasi  bumi.


 


Dalam usaha mencari rizki, jarang sekali tanpa hambatan ataupun kesulitan yang kita hadapi, seperti burung saat terbang dia berusaha sekuat tenaga untuk melawan grafitasi bumi, agar tidak terjatuh. 


 


Seperti kita, di setiap usaha ada saja penolakan, kelelahan, kesulitan, kebuntuan berfikir yang kadang kita temui, namun yakinlah, bahwa semua itu akan membuat kita menjadi lebih taft, lebih tangguh, lebih ahli di kemudian hari, seperti otot-otot sayap burung, karena setiap hari melawan kuatnya gravitasi bumi, dia akan menjadi lebih kuat dan kuat lagi, hingga jika dalam cuaca ekstrim sekalipun, dia telah terbiasa. Jika kita telah terbiasa dengan “ hujan badai “ sulitnya mencari rizki, maka disaat ada cuaca normal, semua kondisi wajar, kita akan dengan mudah menaklukkan tantangan kehidupan tersebut.


 


 


4.    Saat terbang selalu yakin dan tak pernah ragu


 


“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3)


Saat kita telah berdo’a, dan bertawakkal kepada Allah, maka jangan pernah ragukan hasilnya, karena yakinlah, Allah telah mempersiapkan rizki untuk kita. Burung tak pernah ragu saat terbang, dia selalu yakin bahwa, disana ada harapan, yang telah dipersiapkan oleh Allah.


 


5.    Terbang dengan insting, ke tempat yang rimbun dan subur


 


Dalam usaha mencari rizki, diperlukan “ilmu” yang relevan, guna menunjang kesempurnaan ikhtiar. Jikalau burung hanya dibekali insting oleh Allah, untuk mencari tempat-tempat yang rimbun dan subur makanan, maka kita diberi panca indra dan akal pikiran yang luar biasa oleh Allah, yang bisa kita gunakan untuk menganalisa dimana tempat-tempat yang subur dan rimbun akan rizkia Allah


 


 


6.    Setelah makan, dia bawa pulang sebagian rizkinya


 


Saat mencari rizki, jangan pernah lupakan beban amanah keluarga, anak istri yang selalu menanti hasil ikhtiar yang kita lakukan


 


7.    Jika mengambil makanan, burung tidak pernah merusak


 


Saat mengambil makanan, burung selalu dengan cara yang indah dan santun, tidak pernah ia melakukan perusakan dalam proses pencarian makanan, bahkan ada beberapa jenis burung yang membantu proses pembuahan beberapa tanaman.


 


Malu rasanya, jika kita dalam proses mencari rizki kita, harus merugikan orang, harus merusak hak-hak orang, harus menyakiti dan mengecewakan orang lain.


 


“ Barang siapa yg merasa lelah di sore hari karena mencari rizki dgn tangannya, maka akan diampuni dosa dosanya.” (HR Tabroni)
 
 
 
 
 
SUBHANALLAH....
 
 
 
 
 
 
 
ISLAM CINTA DAMAI
naufalaflah.speedytaqwa.com

Selasa, 25 September 2012

''WARA'' CERMIN PRIBADI TAQWA

Dinwayatkan oleh Abu Dzar al Ghiffary, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi segala sesuatu yang tidak berarti.” (H.r. Malik bin Anas, Tirmidzi dan Ibnu Majah).


Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Wara’ adalah meninggalkan apa pun yang syubhat.” Demikian pula, Ibrahim bin Adham memberikan penjelasan, “Wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.”

Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. berkata, “Kami dahulu tujuh puluh perkara yang termasuk ke dalam hal-hal yang dihalalkan, karena khawatir terjerumus ke dalam satu hal yang haram.”


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, bahwa Nabi saw. bersabda:
“Bersikaplah wara’, dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadat di antara ummat manusia.” (H.r. Ibnu Majah, Thabrani dan Baihaqi).


As-Sary berkata, “Terdapat empat orang yang wara’ di zaman mereka: Hudzaifah al-Murta’isy, Yusuf bin Asbat, Ibrahim bin Adham dan Sulaiman al-Khawwas. Mereka bersikap wara’, dan apabila usaha untuk mendapatkan sesuatu yang halal begitu sulit bagi mereka, mereka mencarinya seminimal mungkin.”


Asy-Syibly berkomentar, “Wara’ adalah sikap menjauhi segala sesuatu selain Allah swt.”


Ishaq bin Khalaf mengatakan, “Wara’ dalam bicara lebih sulit ketimbang menjauhi emas dan perak, dan zuhud dari kekuasaan lebih sulit ketimbang menyerahkan emas dan perak, karena Anda siap mengorbankan emas dan perak demi kekuasaan.”

Abu Sulaiman ad-Darany mengatakan, “Wara’ adalah titik tolak zuhud, sebagaimana sikap puas terhadap apa yang ada adalah bagian utama dari ridha. “


Abu Utsman mengatakan, “Pahala bagi wara’ adalah kemudahan penghitungan amal di akhirat.” Yahya bin Mu’adz berkata, “Wara’ adalah berpangku pada batas ilmu tanpa menakwilkannya.”


Dikatakan, “Sekeping uang logam kecil milik Abdullah bin Marwan jatuh ke dalam sebuah sumur yang berisi kotoran, lalu ia meminta bantuan seseorang untuk mengambilnya dengan membayarnya tigabelas dinar. Ketika seseorang bertanya kepadanya, ia memberikan penjelasan, ‘Nama Allah swt. tertera pada uang itu’.”

Yahya bin Mu’adz menegaskan, “Ada dua jenis wara’: Wara’ dalam pengertian dzahir, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah swt, dan wara’ dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati Anda kecuali Allah swt.”
Ia juga berkata, “Orang yang tidak memeriksa dan memahami seluk beluk wara’ tidak akan mendapatkan anugerah.”
Dikatakan, “Orang yang pandangannya atas agama jeli, akan memperoleh peringkat yang tinggi di Hari Kebangkitan.”


Yunus bin Ubaid mengatakan, “Wara’ berarti keluar dari segala syubhat, dan merefleksikan diri dalam setiap pandangan.”


Sufyan ats-Tsaury berkomentar, “Aku belum pernah melihat sesuatu yang mudah selain wara’. Apa pun yang diinginkan oleh hawa nafsu Anda, tinggalkanlah!.”


Ma’ruf al-Karkhy mengajarkan, “Jagalah lidah Anda dari pujian, sebagaimana Anda menjaganya dari cacian.”


Bisyr ibnul Harits berkata, “Hal-hal paling sulit untuk dilaksanakan ada tiga: Dermawan di masa masa sulit, wara’ adalah khalwat, dan menyampaikan kebenaran kepada seseorang yang Anda takuti dan Anda jadikan harapan.”

Saudara wanita Bisyr al-Hafi mengunjuingi Ahmad bin Hanbal dan memberitahukan kepadanya, “Kami sedang memintal di atas atap rumah, ketika obor kaum Dzahiriyah berlalu dan cahayanya menyinari kami. Apakah diperbolehkan bagi kami memintal di dekat cahaya mereka?” Ahmad bertanya, “Siapakah Anda, (semoga Allah menjaga kesehatanAnda)?” Ia menjawab, “Saya adalah saudara wanita Bisyr al Hafi.” Ahmad menangis, lalu berkata, Wara’ yang jujur muncul dari keluarga Anda. Jangan memintal di dekat cahaya itu!”


Ali al-’Atthar berkata, “Suatu ketika aku sedang berjalan melewati Bashrah melintasi sebuah jalan, dan aku melihat beberapa orang syeikh sedang duduk, sementara beberapa pemuda bermain di dekatnya. Oleh karena itu, aku bertanya kepada mereka, ‘Apakah Anda sekalian tidak malu bermain di depan Syeikh syeikh ini?’ Salah seorang pemuda tersebut menjawab, ‘Wara’ para syeikh ini demikian kecil hingga kami memandang kecil mereka’.”

Dikatakan, bahwa Malik bin Dinar tinggal di Bashrah selama empat puluh tahun, ia tidak pernah memakan kurma kering maupun yang masih segar dari kota tersebut. Sampai saat musim berlalu, ia berkata, “Wahai penduduk Bashrah, inilah perutku, tidak kurang juga tidak pernah bertambah!”

Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Mengapa Anda tidak minum Zamzam?” Ia menjawab, “Apabila aku mempunyai timba, aku akan meminumnya.” Apabila al-Harits al-Muhasiby mengambil makanan yang syubhat, maka urat di ujung jarinya berdenyut, dan ia menganggap bahwa makanan tersebut syubhat.

Suatu ketika Bisyr al-Hafi diundang ke jamuan makan, dan dihidangkan makanan di depannya. Ia hendak menyantap makanan itu, tetapi tangannya tidak dapat digerakkan. Ia berusaha menggeraknya hingga tiga kali. Seseorang yang akrab dengan situasi ini mengatakan, “Tangannya tidak pernah mengambil makanan yang syubhat. Percuma saja tuan mengundang syeikh ini.”

Ketika Sahl bin Abdullah ditanya tentang halal yang murni, ia menjawab, “Yaitu yang di dalamnya tidak pernah dicampuri maksiat kepada Allah swt. Dan halal yang murni adalah yang Allah tidak dilupakan di dalamnya.”

Hasan al-Bashry memasuki Mekkah, la melihat salah seorang keturunan Ali bin Abu Thalib r.a. bersandar ke Ka’bah dan berceramah di hadapan sekumpulan orang. Hasan bergegas menghampirinya, lalu bertanya, “Siapakah yang menguasai agama-agama?” Ia menjawab, “Orang wara’.” Hasan bertanya lagi, “Apakah yang merusak agama.” Ia menjawab, “Keserakahan.” Maka Hasan mengaguminya, seraya berkata, “Bobot sebutir wara’ yang cacat adalah lebih baik ketimbang bobot seribu hari berpuasa dan shalat.”

Abu Hurairah mengatakan, “Sahabat sahabat dalam majelis Allah swt. di akhirat adalah orang orang yang wara’ dan zuhud.”
Sahl bin Abdullah berkata, “Apabila wara’ tidak menyertai seseorang, la tidak akan pernah merasa kenyang, sekalipun diwajibkan baginya makan kepala gajah.”


Sedikit minyak kasturi yang berasal dari rampasan perang dibawa ke hadapan Umar bin Abdul Aziz. Katanya, “Manfaat satu satunya adalah aroma keharumannya, dan aku tidak ingin hanya diriku sendiri yang mencium aromanya, sementara seluruh kaum Muslim tidak berbagi membauinya.”

Ketika ditanya tentang wara’, Abu Utsman al-Hiry berkata, “Abu Shalih Hamdun al-Qashshar berada bersama salah seorang sahabatnya yang sedang menjelang maut. Orang tersebut meninggal, dan Abu Shalih memadamkan lampu. Seseorang bertanya kepadanya tentang hal ini, lalu ia mengatakan, “Sampai sekarang minyak yang di dalam lampu ini menjadi milik para ahli warisnya. Carilah minyak yang bukan miliknya!”


Hamisan berkata, ‘Aku meratapi dosaku selama empat puluh tahun. Salah seorang saudara mengunjungiku, dan kubelikan sepotong ikan rebus untuknya. Ketika ia selesai memakannya, aku mengambil sebongkah lempung dinding milik tetanggaku, sampai ia dapat membersihkan tangannya, dan aku belum meminta halalnya.”

Seseorang sedang menulis suatu catatan saat ia tinggal di sebuah rumah sewa dan ingin mengeringkan tulisannya dengan debu yang dapat diperoleh dari dinding rumah tersebut. Ia teringat bahwa rumah yang ditempatinya adalah rumah sewa, akan tetapi ia berpendapat bahwa hal itu tidaklah penting. Karenanya, ia pun mengeringkan tulisan tersebut dengan debu. Kemudian ia mendengar sebuah suara mengatakan, “Orang meremehkan debu akan melihat betapa lama perhitungan amalnya kelak.”

Ahmad bin Hanbal (semoga Allah melimpahkan kasih-sayang kepadanya) menggadaikan sebuah ember kepada seorang penjual bahan makanan di Mekkah. Ketika ingin menebusnya, penjual bahan makanan tersebut mengeluarkan dua ember, sembari mengatakan, “Ambillah, yang mana ember milik Anda?” Ahmad menjawab, “Saya ragu. Oleh karena itu, simpan saja, baik kedua ember maupun uang itu untuk Anda!” Penjual bahan makanan tersebut memberitahu, “Inilah ember Anda. Saya hanya ingin menguji Anda.” Ahmad menyahut, “Saya tidak akan mengambilnya,” lalu pergi, dengan meninggalkan ember kepunyaannya kepada si penjual bahan makanan.

Sayyab Ibnul Mubarak membiarkan kudanya yang mahal berkeliaran dengan bebas ketika ia sedang melakukan shalat dzuhur. Kuda tersebut merumput di ladang milik kepala desa. Akhirnya, Ibnul Mubarak meninggalkan kuda tersebut dengan tidak mengendarainya. Dikatakan bahwa Ibnul Mubarak suatu ketika pergi pulang dari Marw ke Syria, gara-gara telah meminjam sebuah pena dan lupa mengembalikannya.

An-Nakha’y menyewa seekor kuda. Ketika cambuknya terlepas dari tangan dan jatuh, ia pun turun, seraya mengikat kudanya, dan berjalan untuk memungut cambuk itu. Seseorang berkomentar, “Akan lebih mudah seandainya Anda mengendalikan kuda Anda menuju tempat di mana cambuk itu jatuh dan kemudian mengambilnya.” An-Nakha’y menyahut, “Aku menyewa kuda itu untuk pergi ke arah sana, bukan ke sini.”

Abu Bakr ad-Daqqaq berkata, “Aku berkelana di padang belantara bani Israil selama limabelas hari, dan ketika tiba di sebuah jalan, seorang prajurit menemuiku dan memberi seteguk air minum. Air itu menumbuhkan penderitaan dalam hatiku, dan aku menderita selama tigapuluh tahun.”

Rabi’ah al-Adawiyah menjahit bajunya yang sobek di dekat lampu sultan, tiba tiba ia tersentak dan kemudian sadar. Maka, Rabi’ah pun menyobek pakaiannya, dan menemukan hatinya.

Sufyan ats Tsaury suatu ketika bermimpi mempunyai sepasang sayap yang dapat digunakan untuk terbang di surga. Kemudian ia ditanya, “Dengan apa hingga Anda dianugerahi ini?” Dijawabnya, “Wara’. “

Ketika Hissan bin Abi Sinan menghampiri murid murid al-Hasan, ia bertanya, “Hal apakah yang paling sulit bagi Anda?” Mereka menjawab, “Wara’.” Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling mudah bagiku selain ini (wara’).” Mereka bertanya, “Mengapa demikian?” Hissan bin Abi Sinan menanggapi, “Aku belum pernah minum air dari mata air milik Anda semua selama empatpuluh tahun.”


Hissan bin Abi Sinan tidak tidur terlentang atau makan makanan berlemak atau minum air dingin selama enampuluh tahun. Seseorang bermimpi bertemu dengan Hissan bin Abi Sinan, lalu bertanya kepadanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya. Dijelaskan oleh Hissan bin Abi Sinan, “Baik, kecuali bahwa pintu surga tertutup bagiku, karena jarum yang pernah kupinjam belum kukembalikan.”

Abdul Wahid bin Zaid mempunyai seorang pembantu rumah tangga yang bekerja kepadanya selama bertahun tahun dan beribadat secara khusyu’ selama empatpuluh tahun. Sebelumnya ia adalah seorang penimbang gandum. Dan ketika ia meninggal, seseorang bermimpi bertemu dengannya. Ditanya tentang apa yang telah Allah lakukan atas dirinya? Dijawabnya, “Baik, kecuali bahwa aku dihalang, memasuki pintu. surga, disebabkan oleh debu pada timbangan gandum yang dengannya aku menimbang empatpuluh porsi gandum.”

Ketika Isa putra Maryam as. melewati sebuah makam, seseorang berteriak dari dalam kuburnya. Allah swt. menghidupkannya kembali, dan Isa bertanya kepadanya, “Siapakah Anda?” Ia menjawab, “Aku adalah seorang kuli, dan pada suatu hari, saat aku mengantarkan kayu bakar untuk seseorang, aku mematahkan sepotong kayu kecil. Sejak aku meninggal, aku dianggap bertanggungjawab atas hal itu.”

Abu Sa’id al-Kharraz berbicara tentang wara’, ketika Abbas bin al-Muhtadi berlalu di hadapannya. Ia bertanya, “Wahai Abu Sa’id, apakah Anda tidak mempunyai rasa malu? Anda duduk di bawah atap Abu ad-Dawaniq, minum dari penampungan air Zubaydah, berniaga dengan riba, tetapi berbicara tentang wara.



Subhanallah,,
semoga Allah menumbuhkan kesadaran dalam diri kita....tentang kesempunaan beribadah kepada-Nya.
sehingga memiliki sikap ''wara'' dalam menjalani hidup ini.




Sumber: http://islamzuhud.blogspot.com/2010/04/wara.html

Sabtu, 22 September 2012

SUDAH-KAH KITA BENAR-BENAR BER-SAKSI?


Saya bersaksi

Pada dunia maya (internet), baik melalui  email, chatting, milis,  forum diskusi, blog   kadang kita temui perdebatan dalam bidang agama dengan berbekal pemahaman maupun ilmu yang dipahami/diketahui.

Kita dapat pula temukan sebagian umat muslim gemar “mencela”, “menghujat”, “menilai”, “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya berdasarkan tingkat pemahaman mereka sendiri.

Padahal Allah telah sampaikan bahwa adanya perbedaan tingkat pemahaman / kompetensi pada muslim semata-mata semua itu merupakan kehendak Allah sebagaimana firmanNya yang artinya.
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Insyaallah muslim yang sudah memahami dan mengupayakan ma’rifatullah tidak akan “mencela”, “menghujat”, “menilai” atau “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya, karena mereka sudah “merasakan”  dan “mengalami” makna “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain.

Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.


Orang-orang yang terhijab tidak akan mampu “bersaksi”. Hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah,  sampai karomah juga hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain nggak kelihatan, bagaimana dia bisa “melihat” Allah ( “bersaksi”).

Orang-orang yang sibuk memperturutkan hawa nafsu adalah bukan sebenar-benarnya seorang syahid (penyaksi) pantaslah kalau mereka masih “mencari” “di mana Allah” atau “bagaimana Allah”. Celakalah mereka ! Semoga Allah memberikan pertolongan karunia pemahaman yang lebih baik kepada mereka.

Imam Al Qusyairi mengatakan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu  menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apap pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Secara syariat, seorang muslim sudah terpenuhi rukun Islam ketika telah dengan sungguh-sungguh mengucapkan “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain ( 2 kalimat syahadat). Sebaiknya kita tidak berpuas diri sebatas pengucapan atau pernyataan saja.
Bilakah manusia sebenar-benarnya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ?

Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang artinya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan manusia (ketika bayi dalam kandungan) dalam keadaan suci dan bersih.
Ketika bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.
Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan ruhani bayi telah hidup sempurna.

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan dalam keadaan suci dan bersih, ketika panca indera dan hawa nafsu (jasmani) belum mempengaruhi ruhani. Saat-saat manusia terhubung (wushul) dengan Allah SWT.

Jadi upaya yang harus dilakukan agar kita bisa merasakan dan mengalami sebenar-benarnya bersaksi  dan kembali terhubung (wushul) dengan Allah SWT adalah kembali bersih dan suci.  Upaya yang dilakukan adalah dengan bertaubat yang sungguh-sungguh, akhlak yang baik, adab yang mulia, mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), mengenal diri, manajemen hati, sebagaimana upaya yang dilakukan oleh kaum sufi.

Sekarang kita dapat mengambil pelajaran (al-hikmah) dari perkataan Rasulullah SAW,  ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah), dengan makna mensucikan jiwa, akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).

Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Pahamlah kita kenapa muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.  Namun sebagian umat muslim hanya memaknai secara lahiriah atau tekstual dengan mengenakan “baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.  Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin  akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya tambah bersih.

Begitu pula syarat syahnya sholat (mi’raj kaum muslim) adalah dengan bersuci atau berwudhu, yang diuraikan dalam thaharah.
“Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]


Nasehat Syaikh Ibnu Athailllah
Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”


Wasssalam

KISAH HIKMAH, ''NILAI SEBUAH KEJUJURAN & KEHATI-HATIAN''

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad  dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah  bersabda:
اشْتَرَى رَجُلٌ مِنْ رَجُلٍ عَقَارًا لَهُ فَوَجَدَ الرَّجُلُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ فِي عَقَارِهِ جَرَّةً فِيهَا ذَهَبٌ فَقَالَ لَهُ الَّذِي اشْتَرَى الْعَقَارَ: خُذْ ذَهَبَكَ مِنِّي إِنَّمَا اشْتَرَيْتُ مِنْكَ الْأَرْضَ وَلَمْ أَبْتَعْ مِنْكَ الذَّهَبَ. وَقَالَ الَّذِي لَهُ الْأَرْضُ: إِنَّمَا بِعْتُكَ الْأَرْضَ وَمَا فِيهَا. فَتَحَاكَمَا إِلَى رَجُلٍ فَقَالَ الَّذِي تَحَاكَمَا إِلَيْهِ: أَلَكُمَا وَلَدٌ؟ قَالَ أَحَدُهُمَا: لِي غُلَامٌ. وَقَالَ الآخَرُ: لِي جَارِيَةٌ. قَالَ: أَنْكِحُوا الْغُلَامَ 
 الْجَارِيَةَ وَأَنْفِقُوا عَلَى أَنْفُسِهِمَا مِنْهُ وَتَصَدَّقَا
Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”

Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?''

Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”

Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”

Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”

Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah ini.

 Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.


Dalam hadits ini, Rasulullah  mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.

Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?

Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah:

“Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”

Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.

Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.

Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.

Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah  dalam hadits An-Nu’man bin Basyir c:
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”

Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah  menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.

Rasulullah  sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”

Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.

Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah , menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.
Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.

Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Rasulullah, yang Allah  berfirman tentang beliau :
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)

Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.

Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.
Akan tetapi, rasa takut kepada Allah  membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.

Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.

Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.

Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.

Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.

Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.

Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.

Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?

Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”

Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”

“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.

“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.

Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”

“Tidak,” kata pemilik kebun.

“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”

“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.

Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”

Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”

Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”

Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”

Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”

Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”

Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?

“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.

Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.

Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?

Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.

Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”

Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”

“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah .”

“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.

“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah  murka.”

“Dia katakan kamu tuli.”

“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah .”

“Dia katakan kamu lumpuh.”

“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah l.”

Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah  yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah

Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.

Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?




Wallahul Muwaffiq.

INGIN MERAIH CINTA ALLAH? ZUHUDLAH DI DUNIA

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di zamanku, kemudian orang-orang setelahnya, kemudian orang-orang setelahnya“. HR. Bukhari, no. 2652, Muslim, no. 6635.

Berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, ada tiga kelompok yang merupakan sebaik-baik manusia, yang hidup sezaman dengan Nabi saw yakni para sahabat, zaman setelahnya yakni tabi’in dan zaman setelahnya lagi, yakni generasi tabi’ut tabi’in.

Mereka dipanggil sebagai Salafush Sholeh karena mereka sholeh, baik, berakhlak baik, mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya.
Mereka yakin bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Mereka adalah generasi terbaik yang berserah diri (Islam) kepada Allah.

Sehingga mereka mencapai tingkatan muslim yang terbaik yakni Ihsan (muhsin), seolah-olah mereka melihat-Nya walaupun mereka tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat mereka.
Sekarang kita yang jauh dari masa generasi terbaik itu, mulai timbullah sikap “membela diri” yang sesungguhnya adalah memperturuti hawa nafsu.

Nah, memperturuti hawa nafsu inilah yang menghijab kita dari “seolah-olah kita melihatNya”

Apa akibatnya bagi kita kaum muslim yang tidak lagi dapat atau terhijab dari “seolah-olah kita melihatNya”.

Sebagian dari kita berani membuka aurat, setengah bugil bahkan bugil di depan kamera atau di depan orang lain.
Bahkan ada pula yang berani melakukan perbuatan zina di depan kamera atau di depan orang lain.

Jelas sudah bahwa mereka memperturutkan hawa nafsu sehingga menghijabi dirinya dari “seolah-olah melihatNya”.

Sikap “membela diri” mereka adalah atas nama seni, hak asasi manusia atau hak pribadi, kami lakukan atas kesukaan bukan paksaan, tidak mengganggu orang lain, dan lain-lain alasan.

Begitu pula sebagian dari muslim yang mengkhawatirkan akan terjadi kemunduran masyarakat Islam , terutama dari segi ekonomi dan urusan duniawi,  dalam mereka memahami sebuah hadits “Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” (HR Muslim).

Kekhawatirkan mereka sesungguhnya adalah sebuah bentuk sikap “membela diri” karena pandangan mereka yang sebenarnya menjurus kepada materialisme dan mereka terhijab dari “seolah-olah melihatNya”.

Mereka memahami firman Allah yang artinya “Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga” (QS ar Rahmaan: 24) dimana bagi mereka yang dimaksud dua syurga adalah syurga dunia dan syurga akhirat.

Padahal Allah telah menggambari tentang dunia pada firmanNya, antara lain yang artinya,
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS  al Hadid : 20)

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (Al-Ankabut: 64)

Mereka membela diri, oleh karena mereka muslim maka mereka berhak atas penghidupan yang baik di alam dunia dibandingkan orang kafir.

Mereka yakin bahwa mereka dicintai Allah sehingga mereka merasa wajar meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik  bahkan kaya raya.

Padahal anjuran (sunnah) Rasulullah SAW agar kita dicintai Allah dan dicintai manusia adalah sebagaimana sebuah hadits
Dari Abul Abbas — Sahl bin Sa’ad As-Sa’idy — radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Datang seorang laki-laki kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah! Tunjukkan kepadaku suatu amalan yang jika aku beramal dengannya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Maka Rasulullah menjawab: “Zuhudlah kamu di dunia niscaya Allah akan mencintaimu, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia niscaya mereka akan mencintaimu.” (Hadist shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan lainnya).

Zuhud adalah tidak adanya ketergantungan dan terpusatnya perhatian terhadapnya.

Bersikap qanaah terhadap rizki yang halal dan ridho terhadapnya serta bersikap ‘iffah dari perbuatan haram dan hati-hati atau bahkan menghindari terhadap syubhat.

Jiwa yang merasa cukup dan iffah serta berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah merupakan hakekat zuhud.
Zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, bererti menjauhkan diri dari merasa iri hati terhadap apa yang dimiliki oleh manusia serta mengosongkan hati dari mengingati harta milik orang..
… (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS Al-Hadiid :23)

Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu!  Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman bin Affan ra, dan Abdurrahman bin Auf ra. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman.

Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?

Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”

Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya.
Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya.
Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.

Dengan adanya sikap membela diri maka akan sulitlah mengamalkan sunnah Nabi untuk berlaku Zuhud di dunia. Sikap membela diri sesungguhnya adalah memperturutkan hawa nafsu sehingga menghijabi diri kita sehingga tidak mencapai keadaan “seolah-olah melihatNya”.

Sikap diri, akhlak,  budi pekerti, moral, bertalian dengan hati, ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha ,qanaah,  tawakal, mengenal diri, mengenal Allah (ma’rifatullaH) adalah perihal yang wajib kita pahami .





Subhanallah,,
Semoga Allah senantaiasa membimbing kita serta memberi kemudahan dalam meneladani Rasulullah dan para sahabat & menghimpun kita ke dalam golongan pengikut-pengikut setia-nya hingga akhir zaman. aamiin

KENALI DIRI-MU, TENTUKAN LANGKAH-MU



Selera dan gaya hidup seringkali tak berbanding lurus dengan penghasilan yang diperoleh. Banyak orang yang kemudian mengorbankan banyak hal demi berburu kesenangan sesaat.

Banyak orang beranggapan, hidup memang untuk dinikmati. Tak heran jika kemudian mereka berprinsip “yang penting senang” dan bagaimana menciptakan kehidupan yang “serba ada”. Tak peduli bagaimana caranya. Harga diri pun siap digadaikan demi memenuhi selera dan tuntutan gaya hidup yang dianutnya. Sehingga karena ingin hidup senang, akhirnya terlena untuk menimbang akibat buruk yang bakal timbul di kemudian hari. Melupakan urusan diri sendiri padahal diri ini dituntut memiliki kesiapan bila pada saatnya harus kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Walhasil, banyak yang dininabobokkan dengan ‘kesenangan’ sehingga seolah tidak ada hari perhitungan, hisab dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pelanggaran syariat terjadi di mana-mana. Zina, homoseks, mabuk-mabukan, pesta narkoba, judi, dan tindak kriminal lainnya, dilakukan demi apa yang disebut kesenangan. Bahkan tidak kalah besar adalah kesyirikan dan kebid’ahan yang dilakukan untuk mencari sebentuk kesenangan. Andai saja mereka mau belajar sejarah masa lampau dari para pendahulu yang telah dibinasakan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa sisa karena kejahatan mereka!
Jelasnya, mereka ingin mengejar kesenangan hidup yang bersifat sementara dan melupakan kesenangan yang abadi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang pada akhirnya tidak mendapatkan kedua-duanya, kesenangan dunia ataupun kesenangan akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوْءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لاَ تَفْرَحْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ. وَابْتَغِ فِيْمَا آتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَلاَ تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللهُ إِلَيْكَ وَلاَ تَبْغِ الْفَسَادَ فِي اْلأَرْضِ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ. قَالَ إِنَّمَا أُوْتِيْتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلاَ يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ. فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِيْنَتِهِ قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَالَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُوْنُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيْمٍ. وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُوْنَ. فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ اْلأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُوْنَهُ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ. وَأَصْبَحَ الَّذِيْنَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِاْلأَمْسِ يَقُوْلُوْنَ وَيْكَأَنَّ اللهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلاَ أَنْ مَنَّ اللهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لاَ يُفْلِحُ الْكَافِرُوْنَ. تِلْكَ الدَّارُ اْلآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِيْنَ لاَ يُرِيْدُوْنَ عُلُوًّا فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ 
 لِلْمُتَّقِيْنَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari kaum Musa, namun ia berlaku aniaya terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh sangat berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. Ingatlah ketika kaumnya berkata kepadanya: ‘Janganlah kamu terlalu bangga, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu membanggakan diri. Dan carilah kepada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat. Jangan kamu melupakan bagian (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripada dia dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya, orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia pun berkata: ‘Sekiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.’ Orang-orang yang dianugerahi ilmu berkata: ‘Kecelakaan yang besarlah bagimu. Pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman lagi beramal shalih, dan tidaklah diperoleh pahala itu melainkan bagi orang-orang yang bersabar.” Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tidak ada satu golonganpun yang menolongnya dari adzab Allah. Dan tidaklah ia termasuk dari orang yang membela dirinya. Jadilah orang-orang yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu berkata: ‘Aduhai benarlah Allah melapangkan rizki bagi siapa yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, benar-benar Dia telah membenamkan kita pula. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).’ Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Qashas: 76-83)

Siapakah yang akan selamat? Merekalah orang-orang yang bersabar. Yaitu orang-orang yang menahan dirinya untuk terus di atas ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menahan diri dari bermaksiat kepada-Nya serta siap menerima segala ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga orang-orang yang bersabar dari rayuan dunia dan syahwatnya untuk tersibukkan dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menghalangi mereka dari tujuan mereka diciptakan. Merekalah orang-orang yang mengutamakan ganjaran di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada dunia yang fana. (Lihat Tafsir As-Sa’di hal. 574 )

Sungguh malang nasibmu wahai saudaraku, jika kamu lupa dan melalaikan akibat perbuatanmu. Hendaknya engkau segera mencari jalan keluar dari perbuatanmu. Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan camkan baik-baik:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Padanya (ada) malaikat yang keras dan kasar dan mereka tidak bermaksiat kepada Allah terhadap segala yang diperintahkan dan mereka melakukan segala apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ لأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلاَّ مَا رَحِمَ رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Dan aku tidak bisa melepaskan diriku. Sesungguhnya nafsu itu selalu memerintahkan untuk berbuat jahat kecuali orang yang mendapatkan rahmat dari Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa yang menimpamu berupa kebaikan maka datangnya dari Allah dan apa yang menimpamu berupa kejahatan datangnya dari dirimu sendiri.” (An-Nisaa: 79)

وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Dan barangsiapa melakukannya maka sungguh dia telah mendzalimi dirinya sendiri.”(Al-Baqarah: 231)

قَدْ جَاءَكُمْ بَصَائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ عَمِيَ فَعَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفِيْظٍ
“Sungguh telah datang kepada kalian hujjah dari Rabb kalian. Maka barangsiapa melihatnya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa buta darinya atasnya dan aku bukan sebagai penolong atas kalian.” (Al-An’am: 104)

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيْلٍ
“Katakan wahai sekalian manusia, telah datang kepada kalian kebenaran dari Rabb kalian. Maka barangsiapa mendapatkan petunjuk untuk dirinya dan barangsiapa yang sesat, maka dia tersesat atas dirinya sendiri dan Aku bukanlah pembela atas kalian.” (Yunus: 108)

Semua ayat di atas mengingatkan kepada kita akan pentingnya memperhatikan urusan diri kita sendiri, di mana jika berhasil maka keberhasilan untuk diri kita sendiri dan jika merugi itu merupakan hasil usaha kita, tidak boleh kita mengkambinghitamkan orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
“Barangsiapa menemukan (ganjaran) kebaikan maka hendaklah dia memuji Allah dan barangsiapa mendapatkan selainnya janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”1

Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu di dalam Tafsir-nya menjelaskan:
“Berkata Atha’ dari Ibnu Abbas: ‘Tinggalkanlah segala perkara yang dilarang Allah dan lakukan segala amal ketaatan’.” 


Al-Qurthubi menjelaskan: “Allah memerintahkan untuk menjaga dirimu dan keluargamu dari api neraka.”

At-Thabari di dalam Tafsir-nya menjelaskan:
“Ajarkanlah orang lain ilmu yang akan bisa menjaga kalian dari api neraka dan ilmu itu akan menjaga mereka dari neraka bila mereka mengamalkannya dalam bentuk mentaati Allah dan melakukan (segala bentuk) ketaatan (yang lain) kepada Allah.”


Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan:
“Menjaga diri artinya konsisten di atas perintah Allah dan larangannya dengan cara menjauhinya dan bertaubat dari segala yang akan mendatangkan kemurkaan dari Allah dan adzab-Nya.”


Beliau juga mengatakan: “Apa yang menimpamu berupa kejelekan karena dirimu artinya karena dosa-dosa dan usahamu.”
Ketahuilah bahwa jiwa selalu berada dalam salah satu dari dua keadaan.

Pertama: Sibuk dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua: Tersibukkan oleh nafsunya (dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).


Karena bila jiwa itu tidak disibukkan, dia akan menyibukkan. Dan jika didapati ada yang akan meluruskannya niscaya akan menjadi lurus. (Nasihati Lin Nisa` hal. 19 karya Ummu Abdillah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i)

Bimbinglah Dirimu dan Berjuanglah!

Ibnul Qayyim di dalam Zadul Ma’ad (1/9) mengatakan:

“Jihad memiliki empat tingkatan; yaitu jihad melawan diri sendiri, jihad melawan setan, jihad melawan orang-orang kafir, dan jihad melawan kaum munafiqin. Jihad melawan diri sendiri ada empat tingkatan:

Pertama: Berjihad agar diri ini mau mempelajari petunjuk dan kebenaran, di mana tidak ada kemenangan dan kebahagiaan di dalam kehidupan dunia dan akhirat kecuali dengannya. Dan jika dia tidak memiliki ilmu, akan celaka dunia dan akhirat.

Kedua: Berjihad agar mau mengamalkan ilmunya setelah dia berilmu. Sebab bila ilmu tidak dibarengi dengan amal, jika tidak memudharatkan maka tidak akan bermanfaat.


Ketiga: Berjihad untuk mendakwahkan ilmunya dan mengajarkan orang yang tidak mengetahui. Jika dia tidak mengajarkannya niscaya dia termasuk orang-orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang telah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Juga, ilmunya tidak akan bermanfaat dan tidak akan menyelamatkan dia dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Keempat: Berjihad agar bersabar terhadap segala beban berat dalam dakwah dan dari segala gangguan manusia, serta menanggung semuanya itu karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.



Jika keempat hal ini secara sempurna ada pada diri seseorang, niscaya dia termasuk Rabbaniyyun. Karena, ulama salaf sepakat bahwa seorang yang alim tidak pantas disebut Rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahui. Barangsiapa belajar dan mengajarkannya lalu dia mengamalkannya, itulah orang yang memiliki kedudukan di hadapan seluruh makhluk.”

Dalam kesempatan lain, Ibnul Qayyim (1/6) menjelaskan:

“Tatkala jihad melawan musuh dari luar merupakan bagian dari (berjihad melawan) musuh dari dalam diri kita, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Seorang mujahid adalah orang yang menjihadi dirinya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala”, (berdasarkan hal ini) maka berjihad melawan diri sendiri lebih didahulukan dari melawan musuh dari luar diri kita, dan berjihad melawan diri sendiri merupakan muara dan landasan perjuangan. Karena barangsiapa tidak berhasil melawan diri sendiri dalam babak pertama agar dia melaksanakan segala apa yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang serta tidak memeranginya di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia tidak mungkin melawan musuh yang datang dari luar. Bagaimana dia akan mampu melawan musuh dari luar dan melepaskan diri darinya, sementara musuh yang ada di antara dua lambungnya mengalahkan dan menguasai dirinya, serta tidak dia lawan dan perangi di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala?”



Kiat Menuju Kemenangan Diri

a. Bersemangat mencari ilmu


فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ
“Maka berilmulah tentang bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan mintalah ampun (kepada-Nya ) dari dosamu.” (Muhammad: 19)

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
“Allah telah mempersaksikan tentang kalimat La ilaha illallah dan berikut para Malaikat (ikut mempersaksikan) dan orang-orang yang berilmu, (bersaksi) dengan penuh keadilan dan tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia yang Maha Mulia dan Bijaksana.” (Al-Baqarah: 18)

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barangsiapa yang Allah inginkan untuk mendapatkan kebaikan, Allah faqihkan di dalam Agama.”2

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barangsiapa menempuh jalan dalam rangka menuntut ilmu maka Allah akan mudahkan jalannya menuju surga.”3

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.”4


وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, namun mereka mewariskan ilmu. Dan barangsiapa mengambil warisan tersebut berarti dia telah mengambil bagiannya yang terbanyak.”5


b. Memanfaatkan waktu luang dan kesehatan yang diberikan Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ. إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya seluruh manusia dalam keadaan merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ. وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُوْنَ
“Sungguh telah beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ di dalam shalat mereka. Dan orang yang berpaling dari segala yang melalaikan.” (Al-Mu`minun: 1-3)

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ
“Dan bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang dipersiapkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Termasuk kebagusan agama seseorang yaitu dia meninggalkan segala yang tidak bermanfaat.”6


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua nikmat yang kebanyakan orang melalaikannya: Nikmat sehat dan waktu luang.”7


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجَزْ
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari pada mukmin yang lemah, akan tetapi setiap (dari mukmin yang kuat dan lemah) memiliki kebaikan, bersemangatlah untuk melakukan segala yang bermanfaat buatmu dan minta tolonglah kepada Allah dan jangan bermalas-malasan.”8


عَنْ أَبِي بَرْزَةَ اْلأَسْلَمِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ
Dari Abi Bazrah Al-Aslami radhiallahu ‘anhu ia berkata: dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan tergelincir kedua kaki pada hari kiamat sehingga ditanya: “Tentang umurnya di mana dia habiskan, tentang ilmunya apa yang diperbuat, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia pergunakan dan tentang jasadnya di mana dia hancurkan.”9


عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ: كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Dari Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma ia berkata: “Rasulullah memegang pundakku lalu berkata: ‘Jadilah kamu di dunia seakan-akan orang asing atau penelusur jalan.” Ibnu Umar berkata: ‘Bila kamu berada di sore hari maka jangan kamu menunggu sampai datangnya pagi hari dan bila kamu berada di pagi hari jangan menunggu datangnya sore hari dan ambillah (kesempatan masa sehatmu) sebelum datang (masa) sakitmu dan hidupmu sebelum datang matimu.”10


c. Berakhlak mulia

Dengarkan pengajaran Luqman kepada anaknya, dalam firman Allah (yang artinya):
“Sesungguhnya Kami telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah, dan barangsiapa bersyukur kepada Allah maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya. Dan barangsiapa tidak bersyukur maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan Terpuji. Ingatlah ketia Luqman berkata kepada anaknya: “Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya menyekutukan Allah adalah kedzaliman yang paling besar.” Dan Kami telah perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tuanya (di mana) ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan meyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kamu kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu menaati keduanya dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang-orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu. Maka Aku akan beritahukan kepadamu apa yang kamu telah kerjakan. Luqman berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada satu perbuatan seberat biji sawi berada dalam batu atau ada di langit atau di bumi, niscaya Allah akan mendatangkan pembalasannya. Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan mencegah dari yang jelek. Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu sesungguhnya yang demikian itu adalah termasuk hal-hal yang diwajibkan atasmu. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu di dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” (Luqman: 12-19)

Nasihat Indah Ibnul Qayyim
Barangsiapa tidak mengenal dirinya, mana mungkin dia mengenal penciptanya. Ketahuilah, Allah telah menciptakan di dadamu sebuah rumah. Itulah hati. Dan Allah telah meletakkan di dadamu singgasana untuk mengilmui Allah yang keagungan-Nya beristiwa` padanya dan Allah dengan dzatnya istiwa` di atas ‘Arsy-Nya, berbeda dengan makhluk-Nya. (Bagi Allah) perumpamaan yang tinggi dalam mengetahui-Nya, mencintai-Nya, dan mentauhidkan-Nya beristiwa’ di atas ranjang hati, dan ranjang permadani ridha. Allah letakkan di sebelah kanan dan kirinya para penjaga syariat-Nya dan peritah-perintah-Nya. Allah membukakan pintu menuju surga rahmat-Nya, tenteram bersama-Nya dan benar-benar berharap ingin berjumpa dengan-Nya.


Allah telah menurunkan hujan dengan siraman firman-firman-Nya yang dengannya tumbuh wewangian dan pepohonan yang berbuah segala bentuk ketaatan seperti bertahlil, bertasbih, bertahmid dan mensucikan Allah. Allah menjadikan di tengah-tengah kebun tersebut pohon ma’rifah (pengetahuan) yang memberikan buah sepanjang masa dengan seijin dari Rabbnya berupa cinta, bertaubat, takut bergembira dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Allah mengalirkan dari (celah-celah) pohon tersebut apa yang akan menyiraminya berupa penggalian firman-firman-Nya, memahaminya, dan mengamalkan segala wasiat-Nya. Dan Allah menggantungkan di dalam persinggahan tersebut, lentera yang meneranginya dengan cahaya pengetahuan dan dengan keimanan dan mentauhidkannya.

(Lentera) itu bersambung dari pohon yang berbarakah dan mengandung minyak yang tidak diketahui ujung timur dan baratnya, hampir-hampir minyaknya akan menerangi walaupun tidak disentuh api. Kemudian Allah melingkarinya dengan pagar yang akan mencegah segala hama perusak yang akan masuk. Barangsiapa mengganggu kebun, niscaya mereka tidak akan sanggup dan Allah meletakkan penjaga dari kalangan Malaikat yang akan menjaganya baik di waktu dia tertidur ataupun terjaga.

Kemudian Allah mengingatkan pemilik kebun dan rumah tersebut untuk dia tinggal padanya dan selalu membersihkan tempat tinggalnya serta segala apa yang akan mengotorinya agar penghuninya ridha (untuk menempatinya). Ketika dia merasakan ada sesuatu yang mengotorinya dia berusaha untuk membersihkannya karena khawatir jika yang menempatinya itu (tidak) mau tinggal padanya. Aduhai betapa nikmatnya orang yang tinggal padanya dan tempat tinggal tersebut.” (Al-Fawa`id hal. 190)


Beberapa faidah:

1. Kenalilah dirimu.
2. Menjaga segumpal daging, yang bila baik akan menentukan kebaikan anggota jasad dan bila rusak akan menetukan kerusakan seluruh jasad.
3. Bila kamu menjaga dan menerima segala yang datang dari Allah niscaya perlindungan dan pemeliharaan-Nya akan selalu menyertaimu. Wallahu a’lam.





1 HR. Al-Imam Muslim no. 4674 dari shahabat Abu Dzar radhiallahu ‘anhu
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 69, 2884, 6768 dan Muslim no. 1718, 1721 dari shahabat Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhuma
3 HR. Al-Imam Muslim no. 4867 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
4 HR. Ibnu Majah no. 220 dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Darimi dari shahabat Abu Darda` radhiallahu ‘anhu
6 HR. Al-Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Al-Imam At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini gharib dan kami tidak mengetahui dari hadits Abu Salamah, dari Abu Hurairah dari Nabi melainkan dari jalan ini saja.”
7 HR. Al-Imam Bukhari no. 5933 dari shahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma
8 HR. Al-Imam Muslim no. 4816
9 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2341 dan diriwayatkan dari shahabat Abdullah bin Mas’ud dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhuma
10 HR. Al-Imam Bukhari no. 5937






Penulis; Ustd. Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Sumber : http://www.Asysyariah.com