Ketika PEMILU
sudah semakin dekat, cuaca politik pun terasa makin memanas meskipun saat
berada di musim hujan. Berbagai upaya untuk meraih kemenangan mulai
dilancarkan. Namun sayang kadang-kadang tak sedikit yang berpolitik pragmatis.
Tak terkecuali tokoh dan partai politik Islam. Mulai merebak wacana yang
meminta MUI untuk memfatwakan haram bagi yang bersikap GOLPUT. Kemudian ada
lagi, yang mengajak Parpol Islam menggalang Poros Tengah untuk pemenangan
Partai Islam. Beberapa waktu yang lalu juga ada wacana agar Partai Islam mulai
beralih menjadi Partai terbuka, berkoalisi dengan Partai Nasionalis sekuler,
dll. Semuanya bermuara pada satu tujuan yakni Partai Islam harus menang,
Kekuasaan harus ditangan umat Islam, Undang-Undang harus berdasarkan Syariat Islam.
Berbagai dalil
dikemukakan untuk mendukung alasan-alasan tersebut. Namun benarkan alasan
maupun dalil-dalil yang mereka pergunakan ?
Lemahnya kaum
muslim dalam memahami Islam, serta kesadaran politik mereka yang sangat rendah,
menimbulkan dampak yang sangat memiriskan hati siapa saja yang masih memiliki
sedikit keimanan di dalam hatinya. Kemerosotan berfikir kaum muslim
terhadap Islam telah mencapai titik nadir yang menjadikan dirinya terasing dari
ajarannya sendiri. Di tengah-tengah mereka mulai bermunculan pendapat,
fatwa, serta aturan-aturan yang menyimpang dari ‘aqidah dan syariat
Islam. Ambil saja contoh misalnya, bolehnya mengkonsumsi riba bila
prosentasenya sedikit, pelacuran dan perjudian yang dilokalisasi dengan dalih
menjaga ketertiban, legalisasi judi, tidak berlakunya hukum rajam dan jilid,
dan sebagainya. sangat disayangkan, tidak sedikit kaum muslim
menganggap pendapat-pendapat itu sebagai bagian dari pendapat Islam.
Anehnya lagi, mereka giat menyerang dan mencibirkan pendapat yang benar dan
Islami. Akhirnya, mayoritas umat tidak mampu lagi membedakan mana
pendapat Islami, dan mana pendapat yang tidak Islami.
Berhubungan dengan
pemilu dan parlemen di dalam sistem demokratik, masih saja ada sebagian kaum
muslim yang membolehkan model perjuangan penerapan syariah Islam melalui
parlemen dan pemilu. Mereka mengetengahkan berbagai macam dalil
–baik aqliyyah maupun syar’iyyah- untuk membenarkan pendapatnya.
Di bawah
ini adalah argumentasi-argumentasi yang mereka ajukan, sekaligus
bantahan-bantahannya.
Argumentasi
I
Mereka menyatakan bahwa, jika kaum muslim tidak berhasil menguasai parlemen, atau jika parlemen dikuasai oleh musuh-musuh Islam, akan membahayakan eksistensi Islam dan kaum muslim. Sebab, parlemen merupakan lembaga yang akan memproduk aturan-aturan yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Jika parlemen dikuasai oleh orang-orang kafir, tentu praturan yang diterapkan akan merugikan umat Islam. Padahal, menghilangkan bahaya bagi kaum muslim merupakan kewajiban. Mereka mengetengahkan kaedah fiqh yang sangat masyhur, “Al-dlarar yuzaalu” [bahaya harus dihilangkan], dan “ al-Ashl fi al-madlaari al-tahriim” [hukum asal dari bahaya adalah haram]
Mereka menyatakan bahwa, jika kaum muslim tidak berhasil menguasai parlemen, atau jika parlemen dikuasai oleh musuh-musuh Islam, akan membahayakan eksistensi Islam dan kaum muslim. Sebab, parlemen merupakan lembaga yang akan memproduk aturan-aturan yang akan diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Jika parlemen dikuasai oleh orang-orang kafir, tentu praturan yang diterapkan akan merugikan umat Islam. Padahal, menghilangkan bahaya bagi kaum muslim merupakan kewajiban. Mereka mengetengahkan kaedah fiqh yang sangat masyhur, “Al-dlarar yuzaalu” [bahaya harus dihilangkan], dan “ al-Ashl fi al-madlaari al-tahriim” [hukum asal dari bahaya adalah haram]
Bantahan
Atas Argumentasi I
Argumentasi point pertama tertolak berdasarkan kenyataan-kenyataan berikut ini.
Pertama , fakta sekarang justru menunjukkan, bahwa parlemen yang ada di negeri ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir, ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas kaum muslim, bukan non muslim.
Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk jebakan politik (political trap) kaum kafir terhadap kaum muslim. Dengan kata lain, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah merelakan dirinya dikuasai oleh scenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Untuk itu, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur. Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam proses pemilu dan parlemen, sudah sangatlah jelas. Hampir di setiap pemilu, mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan panduan. Bahkan, dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.
Kita bisa bertanya, apakah semua hal yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau justru untuk menghancurkan umat Islam? Jawabnya, tentu tidak. Konsens mereka terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan (dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.
Fakta juga menunjukkan, bahwa walaupun parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berfikir dan menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan dengan syariah. Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri. Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem demokrasi kufur ala barat. Siapapun yang berkecimpung di dalam parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Parlemen yang ada di negeri ini, diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Lembaga parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Ini membuktikan bahwa berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.
Fakta ini juga menunjukkan, bahwa justru sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi aqidah umat. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini, parlemen harus dihapuskan, bukan malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut parlemen dan pemilu.
Atas dasar itu, kaedah “bahaya harus dihilangkan” dan “hukum asal dari bahaya adalah haram”, justru berlaku bagi mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen. Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri, bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.
Akan tetapi mereka mengajukan argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak. Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka? Bukankah, ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang diubah? Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik, didesain untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekuler itu sendiri. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti mekanisme mereka? Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita. Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar’iyyah dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. “Al-ghayat laa tubarrir al-washiitah”[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat “menyetubuhi ibu anda sendiri”, apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk menerapkan syari’ah? Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syarat-syarat untuk bermain di parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy. Misalnya, kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam. Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu, adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam. Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram. Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.
Keterangan di atas juga menunjukkan, bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.
Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan mendapatkan madlarat adalah anggapan premature yang harus ditolak. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah –dengan sistem seperti sekarang ini– yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak berkecimpung dalam parlemen.
Bahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari sistem yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Rasulullah saw bersabda:
“Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridloi dan mendiamkan kedzaliman serta kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.
Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar parlemen.
Kedua , dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ‘aqidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya, selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat tersebut harus ditolak.
Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran yang syaratnya bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Allah swt.
Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.
Seorang muslim tidak boleh berfikir kebalikannya, yakni mengedepankan pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih-lebih lagi rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan komitmen dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah mendapatkan tawaran kekuasaan –dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan menjadi seorang penguasa—akan tetapi beliau menolak tawaran tersebut, apapun resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi pemilu dan parlemen dengan syarat dan sistem seperti sekarang ini.
Argumentasi point pertama tertolak berdasarkan kenyataan-kenyataan berikut ini.
Pertama , fakta sekarang justru menunjukkan, bahwa parlemen yang ada di negeri ini dikuasai oleh mayoritas muslim. Sayangnya, meskipun anggota yang duduk di keanggotaan parlemen adalah mayoritas muslim, namun aturan-aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat tidak banyak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan, pendidikan, ekonomi, peradilan, maupun hubungan luar negeri, dan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain tetap saja mengacu kepada hukum-hukum kufur. Pernyataan bahwa kalau kita tidak masuk parlemen, maka parlemen akan dikuasai oleh orang kafir, ternyata tidak terbukti. Sebab, justru yang duduk di parlemen adalah mayoritas kaum muslim, bukan non muslim.
Sesungguhnya, keterlibatan kaum muslim dalam pesta demokrasi kufur ini merupakan bentuk jebakan politik (political trap) kaum kafir terhadap kaum muslim. Dengan kata lain, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen tanpa sadar justru menunjukkan bahwa mereka telah merelakan dirinya dikuasai oleh scenario kaum kafir. Sebab, mekanisme dan syarat-syarat pemilu telah mereka desain untuk melanggengkan sistem pemerintahan demokratik-sekuleristik yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Untuk itu, keterlibatan kaum muslim dalam parlemen dan pemilu secara tidak sadar justru telah memperkuat dan melanggengkan sistem kufur. Seandainya umat Islam tidak ikut pemilu, kemudian bergerak menegakkan kekuasaan Islam secara mandiri tanpa harus didikte kaum kafir, tentu tidak akan ada lagi yang bisa menghalangi. Fakta-fakta keterlibatan kaum kafir dalam proses pemilu dan parlemen, sudah sangatlah jelas. Hampir di setiap pemilu, mereka memberikan bantuan dana, pemantau, infrastruktur, dan panduan. Bahkan, dedengkot kaum Yahudi, Henry Kissinger harus bersusah payah datang untuk memastikan berjalan atau tidaknya pemilu di negeri ini.
Kita bisa bertanya, apakah semua hal yang dilakukan kaum kafir ini benar-benar untuk kepentingan umat Islam; atau justru untuk menghancurkan umat Islam? Jawabnya, tentu tidak. Konsens mereka terhadap pesta demokrasi di negeri ini, dalam bentuk bantuan dan sumbangan (dana dan pikiran), bukan ditujukan untuk membantu kaum muslim menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi, ini adalah upaya politik mereka untuk melanggengkan dan mengokohkan sistem sekuler dan ideologi kapitalisme.
Fakta juga menunjukkan, bahwa walaupun parlemen dikuasai oleh kaum muslim, akan tetapi, aturan yang ada di negeri ini tetap tidak Islamiy. Sebab, para anggota parlemen dipaksa untuk berfikir dan menelorkan aturan sejalan dengan aturan-aturan sekuleristik yang bertentangan dengan syariah. Bahaya parlemen tidak muncul dari apakah parlemen dikuasai oleh orang kafir atau tidak, akan tetapi, muncul dari sistem parlemen itu sendiri. Sistem parlemen yang diterapkan di negeri ini merupakan produk dari sistem demokrasi kufur ala barat. Siapapun yang berkecimpung di dalam parlemen, mereka dipaksa untuk tunduk dengan sistem parlemen tersebut. Dengan kata lain, siapapun yang duduk di keanggotaan parlemen harus tunduk dengan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Atas dasar itu, walaupun mayoritas anggota parlemen adalah kaum muslim, namun selama sistem aturan yang ada di parlemen tidak berubah, maka hasilnya tetap akan sama. Parlemen yang ada di negeri ini, diatur dengan sistem aturan yang sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Lembaga parlemen juga telah terbukti banyak mengeluarkan dan menetapkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Ini membuktikan bahwa berkecimpung di dalamnya termasuk perbuatan yang diharamkan Allah swt.
Fakta ini juga menunjukkan, bahwa justru sistem parlemenlah yang sebenarnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Islam. Sebab, dari parlemen inilah lahir pranata-pranata dan kebijakan-kebijakan yang sangat membahayakan eksistensi aqidah umat. Oleh karena itu, untuk menghilangkan bahaya ini, parlemen harus dihapuskan, bukan malah umat Islam disuruh untuk berkecimpung dan mendukung perjuangan parlementer dengan alasan menghilangkan bahaya. Sebab, bahaya paling besar justru muncul dari sistem parlemen itu sendiri, bukan dari umat yang tidak ikut parlemen dan pemilu.
Atas dasar itu, kaedah “bahaya harus dihilangkan” dan “hukum asal dari bahaya adalah haram”, justru berlaku bagi mereka yang berkecimpung di parlemen, bukan pihak yang ada di luar parlemen. Sebab, bahaya itu muncul dari parlemen, bukan dari rakyat yang tidak mendukung perjuangan masuk parlemen. Sumber bahaya adalah sistem parlemen itu sendiri, bukan dari rakyat. Untuk itu, parlemenlah yang harus dihilangkan, bukan malah menyuruh rakyat untuk mendukung perjuangan via parlemen.
Akan tetapi mereka mengajukan argumentasi lain. Mereka menyatakan, bahwa keterlibatan mereka di parlemen justru ditujukan untuk mengubah pranata-pranata yang bertentangan dengan Islam dan merugikan kaum muslim.
Pendapat ini harus ditolak. Pertama, bagaimana kita akan mampu mengubah pranata mereka yang rusak, sementara itu dengan kerelaan kita mau mengikuti mekanisme dan aturan main mereka? Bukankah, ini malah menunjukkan bahwa bukan kita yang mengubah, akan tetapi kitalah yang diubah? Dalam logika manapun, keterlibatan individu atau institusi dalam sebuah mekanisme aturan, akan menjadikan dirinya terjebak dan tunduk patuh dengan mekanisme itu. Mekanisme pemilu dan parlemen demokratik, didesain untuk melanggengkan sistem demokrasi-sekuler itu sendiri. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa kita akan mengubah mereka, sementara itu kita mengikuti mekanisme mereka? Ini semua malah menunjukkan, bahwa bukan kita yang mengubah mereka, akan tetapi merekalah yang berhasil mengubah kita. Kedua, ketika kita hendak mengubah pranata yang rusak, caranya harus syar’iyyah dan tidak boleh menghalalkan segala cara. Islam tidak memperkenankan umatnya menghalalkan segala cara dalam mewujudkan tujuan-tujuannya. “Al-ghayat laa tubarrir al-washiitah”[Tujuan tidak menghalalkan segala cara]. Seandainya anda diberi opsi, bahwa anda bisa menegakkan Islam, namun dengan syarat “menyetubuhi ibu anda sendiri”, apakah anda akan menyetubuhi ibu anda sendiri, demi untuk menerapkan syari’ah? Haramnya berkecimpung dalam sistem parlemen sudah sangat jelas dan tidak perlu takwil lagi. Sebab, syarat-syarat untuk bermain di parlemen adalah syarat-syarat yang tidak Islamiy. Misalnya, kaum muslim tidak boleh mengubah asas dan dasar negara berdasarkan asas dan dasar partai. Sekiranya partai Islam menang, mereka tetap tidak boleh mengubah asas dan dasar negara dengan prinsip Islam. Syarat-syarat semacam ini tentu bukanlah syarat yang Islamiy. Selain itu, adanya pemilihan presiden langsung merupakan bukti yang tak terbantahkan atas haramnya ikut dalam pemilu. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam Islam. Kepala negara dalam Islam adalah khalifah yang memerintah kaum muslim dengan sistem khilafah, bukan dengan sistem presidensil. Walhasil, hukum memilih pemimpin dan membentuk sistem pemerintahan yang tidak Islamiy adalah haram. Untuk itu, berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.
Keterangan di atas juga menunjukkan, bahwa menyeru kaum muslim untuk masuk ke dalam mekanisme parlemen demokratik sama artinya telah membahayakan masa depan umat Islam.
Di sisi lain, anggapan bahwa jika kaum muslim tidak masuk parlemen akan mendapatkan madlarat adalah anggapan premature yang harus ditolak. Kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Parlemenlah –dengan sistem seperti sekarang ini– yang menjadi sumber bahaya bagi umat, bukan umat, maupun orang yang tidak berkecimpung dalam parlemen.
Bahkan, dalam hadits shahih disebutkan bahwa, seorang muslim wajib menjauhkan dirinya dari sistem yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Rasulullah saw bersabda:
“Akan ada pemimpin-pemimpin, yang kalian ketahui kema’rufannya (kebaikannya) dan kemungkarannya. Maka, siapa saja yang membencinya dia bebas (tidak berdosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat. Tetapi, siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. [HR. Muslim]
Hadits ini menuturkan dengan sangat jelas agar kaum muslim menjauhi dan berlepas diri dari pemimpin-pemimpin dan sistem aturan yang telah menampakkan kekufuran yang nyata. Siapa saja yang membenci penguasa-penguasa dan sistem aturan tersebut, dirinya akan terbebas dari siksaan Allah swt. Sebaliknya, siapa saja yang meridloi dan mendiamkan kedzaliman serta kekufuran yang dilakukan oleh penguasa maka, dirinya akan mendapatkan siksaan di sisi Allah swt.
Orang yang berpendapat bahwa, bila tidak masuk parlemen akan muncul bahaya yang sangat besar, sesungguhnya tanpa sadar telah terjebak dalam asumsi bahwa parlemen merupakan satu-satunya jalan untuk menegakkan Islam. Tanpa disadari mereka juga memberikan kesan bahwa perjuangan ekstra parlemen bukanlah perjuangan Islam. Padahal, sejarah perubahan umat manusia tidak terjadi melalui perjuangan parlemen. Revolusi Merah di Sovyet, Revolusi Iran, Revolusi Industri, Revolusi Amerika, Perancis, Italia, dan Jerman, terjadi dari luar parlemen.
Kedua , dalil lain untuk menolak asumsi pertama ini adalah perilaku rasulullah saw. Pada saat beliau saw berada di Mekah, beliau ditawari kekuasaan, wanita, dan harta, namun dengan syarat, beliau mau melakukan kompromi dengan kaum kafir Quraisy. Namun, Rasullah saw tetap teguh dan menolak tawaran kaum musyrikin Quraisy. Rasulullah saw menolak tawaran mereka disebabkan karena tawaran tersebut bersyarat. Sedangkan syarat-syaratnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip ‘aqidah Islam. Walhasil, apapun syaratnya, selama bertentangan dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, maka syarat tersebut harus ditolak.
Dari perilaku Rasulullah saw ini kita bisa menyimpulkan bahwa beliau saw rela menanggung resiko apapun demi menjaga kebersihan dan kesucian risalah Rabbnya. Beliau juga rela tetap berada dalam intimidasi dan ancaman untuk tetap berpegang teguh kepada petunjuk Rabbnya. Beliau tidak pernah menerima tawaran yang syaratnya bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Allah swt.
Meskipun hukum asal pemilu adalah mubah, akan tetapi selama syarat-syarat dan mekanisme yang ada di dalamnya tidak sesuai dengan syariat Islam, maka seorang muslim tidak diperkenankan menerima ataupun kompromi dengan syarat-syarat tersebut. Resiko apapun harus ditanggung dan diterima.
Seorang muslim tidak boleh berfikir kebalikannya, yakni mengedepankan pertimbangan resiko dan menomorduakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Lebih-lebih lagi rela melacurkan ide-ide Islam hanya untuk kekuasaan yang belum tentu didapatkannya. Tentunya, sikap seorang muslim sejati adalah konsisten dan komitmen dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Rasulullah saw, meskipun sudah mendapatkan tawaran kekuasaan –dan jika beliau saw mengiyakan pasti beliau akan menjadi seorang penguasa—akan tetapi beliau menolak tawaran tersebut, apapun resikonya. Beliau lebih memilih untuk melawan intimidasi dan ancaman daripada menerima syarat-syarat pembesar Qurasiy.
Riwayat ini merupakan bukti yang sangat jelas bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi pemilu dan parlemen dengan syarat dan sistem seperti sekarang ini.
Argumentasi
II
Sebagian lagi berargumentasi dengan kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff al-dlararain; [memilih bahaya teringan diantara dua bahaya]. Kaedah ini juga telah diakui dan dipraktekkan ‘ulama-‘ulama Islam. Mereka menyatakan bahwa, masuk parlemen adalah sebuah dlarar (haram), sedangkan membiarkan parlemen dikuasai oleh orang kafir merupakan bahaya yang lebih besar. Walhasil, dengan kaedah akhdz akhaff al-dlararain dan ahwan al-syarrain, mereka menyatakan bahwa masuk parlemen justru ditujukan untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar.
Sebagian lagi berargumentasi dengan kaedah ahwaan al-syarrain wa akhdz akhaff al-dlararain; [memilih bahaya teringan diantara dua bahaya]. Kaedah ini juga telah diakui dan dipraktekkan ‘ulama-‘ulama Islam. Mereka menyatakan bahwa, masuk parlemen adalah sebuah dlarar (haram), sedangkan membiarkan parlemen dikuasai oleh orang kafir merupakan bahaya yang lebih besar. Walhasil, dengan kaedah akhdz akhaff al-dlararain dan ahwan al-syarrain, mereka menyatakan bahwa masuk parlemen justru ditujukan untuk menghilangkan bahaya yang lebih besar.
Bantahan
Atas Argumentasi II
Kaedah ahwaan al-syarrain dan akhdz akhaff al-dlararain [memilih bahaya paling ringan di antara dua bahaya] sama sekali tidak bisa diberlakukan dalam ini (masuk atau tidak masuk parlemen). Sebab, kaedah ini hanya bisa diberlakukan pada hal-hal yang berhukum mubah, atau hal-hal yang bahayanya sudah ditetapkan berat dan ringannya berdasarkan nash-nash syara’. Sedangkan hal-hal yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt harus ditinggalkan dan dijauhi oleh setiap muslim. Akan tetapi, jika ia tidak melakukan perbuatan haram itu berdampak pada dlarar maka, dirinya baru boleh mengerjakan tindak haram tersebut.
Satu contoh, ada hadits dari Rasulullah saw yang menyatakan, bahwa “mencela kaum muslim itu kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran”. Hadits ini menunjukkan, bahwa mencela itu lebih ringan dibandingkan membunuh, meskipun kedua-duanya sama-sama berhukum haram. Namun, bukan berarti kaum muslim boleh mencela kaum muslim, dengan alasan mencela lebih ringan daripada membunuh. Demikian pula masuk parlemen dan ikut serta dalam pemilu. Seorang muslim tidak diperbolehkan berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu
Contoh lain adalah, di dalam peperangan, kaum muslim diharamkan menghancurkan senjatanya. Sebab, tindakan semacam ini bisa membahayakan keselamatan kaum muslim dan memperkuat pasukukan musuh. Akan tetapi, dalam kondisi terdesak, jika ditakutkan senjata itu akan dirampas oleh pihak musuh, maka ia dibenarkan untuk menghancurkan atau membinasakan senjatanya. Sebab, menghancurkan senjata lebih ringan bahayanya dibandingkan bila dikuasai oleh musuh.
Jika anda perhatikan dengan seksama, dlarar selalu dihubungkan dengan bahaya yang bersifat fisik. Dengan kata lain, dlarar yang dibahas oleh para ‘ulama selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana bila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, maka dirinya akan mati, atau nyaris mati. Bila dua kondisi ini belum tercapai dan masih ada pilihan yang lain, maka dlarar belum terwujud.
Kaedah ahwaan al-syarrain dan akhdz akhaff al-dlararain [memilih bahaya paling ringan di antara dua bahaya] sama sekali tidak bisa diberlakukan dalam ini (masuk atau tidak masuk parlemen). Sebab, kaedah ini hanya bisa diberlakukan pada hal-hal yang berhukum mubah, atau hal-hal yang bahayanya sudah ditetapkan berat dan ringannya berdasarkan nash-nash syara’. Sedangkan hal-hal yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt harus ditinggalkan dan dijauhi oleh setiap muslim. Akan tetapi, jika ia tidak melakukan perbuatan haram itu berdampak pada dlarar maka, dirinya baru boleh mengerjakan tindak haram tersebut.
Satu contoh, ada hadits dari Rasulullah saw yang menyatakan, bahwa “mencela kaum muslim itu kefasikan, sedangkan membunuhnya adalah kekufuran”. Hadits ini menunjukkan, bahwa mencela itu lebih ringan dibandingkan membunuh, meskipun kedua-duanya sama-sama berhukum haram. Namun, bukan berarti kaum muslim boleh mencela kaum muslim, dengan alasan mencela lebih ringan daripada membunuh. Demikian pula masuk parlemen dan ikut serta dalam pemilu. Seorang muslim tidak diperbolehkan berkecimpung dalam parlemen maupun pemilu
Contoh lain adalah, di dalam peperangan, kaum muslim diharamkan menghancurkan senjatanya. Sebab, tindakan semacam ini bisa membahayakan keselamatan kaum muslim dan memperkuat pasukukan musuh. Akan tetapi, dalam kondisi terdesak, jika ditakutkan senjata itu akan dirampas oleh pihak musuh, maka ia dibenarkan untuk menghancurkan atau membinasakan senjatanya. Sebab, menghancurkan senjata lebih ringan bahayanya dibandingkan bila dikuasai oleh musuh.
Jika anda perhatikan dengan seksama, dlarar selalu dihubungkan dengan bahaya yang bersifat fisik. Dengan kata lain, dlarar yang dibahas oleh para ‘ulama selalu dikaitkan dengan suatu keadaan dimana bila seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, maka dirinya akan mati, atau nyaris mati. Bila dua kondisi ini belum tercapai dan masih ada pilihan yang lain, maka dlarar belum terwujud.
Memahami Dlarar
(Madlarat)
Secara literal beberapa ‘ulama mendefinisikan dlarurat (darurat) sebagai berikut; Al-Jurjani menyatakan: “Darurat itu berasal dari kata al-dlarar yang bermakna sesuatu yang turun tanpa ada yang bisa menahannya.”[Al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal.120]
Imam Ibnu Mandzur berkata: “Makna dari idlthiraar ialah, membutuhkan sesuatu”. [Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab]. Al-Laits menyatakan : idlthaara bermakna, bahwa seseorang itu benar-benar membutuhkan sesuatu.”
Dalam kamus Muhith disebutkan bahwa, makna dari idlthiraar adalah al-ihtiyaaj ila al-syaai (membutuhkan sesuatu).
Secara syar’iy yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:
Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:
” Sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.”
Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan:
“Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar sangkaan kuat .”[Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85]
Menurut ‘ulama madzhab Hanafi, makna dlarurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat. Seorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya, apabila tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dlarurat. …Tetapi, kalau ancamannya tidak terlalu berat, seperti hanya dipenjara setahun atau dihukum dengan diikat, namun tetap diberi makan dan minum, itu berarti ia masih punya pilihan. Dengan kata lain ia tidak sedang dalam keadaan dlarurat. [Dr. ‘Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad al-Thariqiy, al-Idlthiraar Ila al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat. Lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV, hal.1517]
Secara literal beberapa ‘ulama mendefinisikan dlarurat (darurat) sebagai berikut; Al-Jurjani menyatakan: “Darurat itu berasal dari kata al-dlarar yang bermakna sesuatu yang turun tanpa ada yang bisa menahannya.”[Al-Jurjani, al-Ta’riifaat, hal.120]
Imam Ibnu Mandzur berkata: “Makna dari idlthiraar ialah, membutuhkan sesuatu”. [Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab]. Al-Laits menyatakan : idlthaara bermakna, bahwa seseorang itu benar-benar membutuhkan sesuatu.”
Dalam kamus Muhith disebutkan bahwa, makna dari idlthiraar adalah al-ihtiyaaj ila al-syaai (membutuhkan sesuatu).
Secara syar’iy yang disebut dengan darurat adalah sebagai berikut:
Al-Hamawiy dalam catatan pinggir atas Kitab Al-Asybah wa al-Nadzaair, mendefinisikan darurat:
” Sebuah keadaan dimana seseorang berada dalam suatu batas apabila ia tidak melanggar sesuatu yang diharamkan maka ia bisa mengalami kematian atau nyaris mati.”
Sebagian ulama madzhab Maliki menyatakan:
“Darurat adalah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau sekedar sangkaan kuat .”[Syarah Kabiir Ma’a Hasyiyaat al-Dasuqiy, jilid II/85]
Menurut ‘ulama madzhab Hanafi, makna dlarurat yang berkaitan dengan rasa lapar, ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa mati atau setidaknya ada anggota tubuhnya yang akan menjadi cacat. Seorang yang dipaksa akan dibunuh atau dipotong salah satu anggota tubuhnya, apabila tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan dlarurat. …Tetapi, kalau ancamannya tidak terlalu berat, seperti hanya dipenjara setahun atau dihukum dengan diikat, namun tetap diberi makan dan minum, itu berarti ia masih punya pilihan. Dengan kata lain ia tidak sedang dalam keadaan dlarurat. [Dr. ‘Abdullah Ibn Mohammad Ibn Ahmad al-Thariqiy, al-Idlthiraar Ila al-Ath’imah wa al-Adwiyah al-Muharramaat. Lihat pula Kasyful Asraar, jilid IV, hal.1517]
Dalam kondisi
sekarang, berkecimpung di dalam parlemen merupakan perbuatan haram dan tidak
berkonsekuensi pada bahaya (dlarar). Sedangkan tidak berkecimpung di
dalam parlemen merupakan kewajiban dan sama sekali tidak menyebabkan
bahaya. Sebab, ukuran dlarar di sini bukanlah sesuatu yang bersifat
maknawi, akan tetapi sesuatu yang bersifat hakiki. Dlarar diukur dengan
kematian maupun penderitaan yang sangat sadis. Padahal, kedua hal itu,
baik masuk parlemen maupun tidak masuk parlemen sama-sama tidak berkonsekuensi
pada dlarar. Sebab, faktanya tidak ada penyiksaan, pembunuhan
bagi orang yang tidak berkecimpung dalam kegiatan pemilu dan parlemen.
Dalam kondisi semacam ini kaedah ahwaan al-syarrain atau akhdz akhaff al-dlararain tidak bisa diberlakukan. Sebab, yang satu adalah perbuatan buruk, sedangkan yang lain adalah perbuatan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan ahwaan al-syarrain adalah memilih keburukan yang paling ringan diantara dua keburukan.
Yang perlu dipahami, bahwa dlarar selalu diukur dengan tercapainya taraf kematian, maupun kehancuran dan penderitaan yang sadis.
Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jash-shash disebutkan, bahwa makna dlarurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat melenyapkan nyawa, atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya, karena ia tidak mau makan atau meminum sesuatu yang diharamkan.[Abu Bakar al-Jash-shash, Ahkaam al-Quran jilid I, hal.159]
Berdasarkan keterangan para ‘ulama ini, apakah orang yang tidak masuk maupun masuk parlemen sudah terkategori dalam kondisi dlarar? Jawabnya, belum secara pasti. Sebab, masih ada pilihan perjuangan lain, dan belum sampai menimbulkan konsekuensi kematian dan cacat fisik jika tidak terlibat dalam parlemen. Oleh karena itu, kaedah ahwan al-syarrain, maupun akhdz akhaff al-dlararain jelas-jelas tidak berlaku dalam masalah ini.
Penerapan kaedah ahwan al-syarrain hanya berlaku pada perbuatan-perbuatan yang bersifat mubah, ataupun perkara-perkara yang sudah dijelaskan tingkat bahayanya. Menetapkan bahwa tidak mengikuti pemilu lebih besar madlaratnya daripada tidak ikut dalam pemilu sama sekali tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’. Penetapan semacam itu, hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka. Tidak ada satupun nash syara’ yang menjelaskan tingkat bahaya diantara dua perbuatan tersebut. Padahal ketika manusia manusia menganggap suatu itu mashlahat bisa jadi itu sebuah madlarat (bahaya). Sebaliknya, sesuatu yang ia anggap baik (mashlahat) sebenarnya adalah madlarat. Allah swt berfirman;
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyiukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”[al-Baqarah:216]
Meskipun, penggalan sebelumnya berbicara mengenai perang, namun ayat ini tidak dikhususkan untuk perang saja. Sebab, kata “syai`” (sesuatu) di sini berbentuk umum, mencakup segala sesuatu. Selain itu, huruf “wawu” pada ayat tersebut adalah wawu isti`naaf, yang berfungsi memulai kalimat baru dengan makna yang baru.
Di sisi yang lain, untuk kondisi saat ini kaum muslim masih memiliki banyak pilihan. Bahkan, diantara pilihan-pilihan itu ada pilihan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Saat ini, kaum muslim di negeri ini belum berada dalam kondisi dlarar (madlarat). Sebab, tatkala tidak berkecimpung dalam parlemen maupun tidak turut serta dalam pemilu, mereka tidak mati maupun cacat tubuhnya. Mereka masih memiliki banyak pilihan dalam perjuangan. Lalu, apa pantas kita beralasan dengan hukum dlarar, padahal kondisi madlarat ini belum terwujud sama sekali?
Atas dasar itu, penggunaan kaedah ahwanusy syaraain dalam masalah ini (pemilu) sama sekali tidak tepat, bahkan terkesan asal-asalan berdalil dan hanya untuk membenarkan keinginan-keinginan sesaat mereka.
Dalam kondisi semacam ini kaedah ahwaan al-syarrain atau akhdz akhaff al-dlararain tidak bisa diberlakukan. Sebab, yang satu adalah perbuatan buruk, sedangkan yang lain adalah perbuatan baik. Sedangkan yang dimaksud dengan ahwaan al-syarrain adalah memilih keburukan yang paling ringan diantara dua keburukan.
Yang perlu dipahami, bahwa dlarar selalu diukur dengan tercapainya taraf kematian, maupun kehancuran dan penderitaan yang sadis.
Dalam kitab Ahkaam al-Quran, Abu Bakar al-Jash-shash disebutkan, bahwa makna dlarurat adalah rasa takut seseorang kepada bahaya yang dapat melenyapkan nyawa, atau bisa mencelakai salah satu anggota tubuhnya, karena ia tidak mau makan atau meminum sesuatu yang diharamkan.[Abu Bakar al-Jash-shash, Ahkaam al-Quran jilid I, hal.159]
Berdasarkan keterangan para ‘ulama ini, apakah orang yang tidak masuk maupun masuk parlemen sudah terkategori dalam kondisi dlarar? Jawabnya, belum secara pasti. Sebab, masih ada pilihan perjuangan lain, dan belum sampai menimbulkan konsekuensi kematian dan cacat fisik jika tidak terlibat dalam parlemen. Oleh karena itu, kaedah ahwan al-syarrain, maupun akhdz akhaff al-dlararain jelas-jelas tidak berlaku dalam masalah ini.
Penerapan kaedah ahwan al-syarrain hanya berlaku pada perbuatan-perbuatan yang bersifat mubah, ataupun perkara-perkara yang sudah dijelaskan tingkat bahayanya. Menetapkan bahwa tidak mengikuti pemilu lebih besar madlaratnya daripada tidak ikut dalam pemilu sama sekali tidak didasarkan pada dalil-dalil syara’. Penetapan semacam itu, hanya didasarkan pada hawa nafsu belaka. Tidak ada satupun nash syara’ yang menjelaskan tingkat bahaya diantara dua perbuatan tersebut. Padahal ketika manusia manusia menganggap suatu itu mashlahat bisa jadi itu sebuah madlarat (bahaya). Sebaliknya, sesuatu yang ia anggap baik (mashlahat) sebenarnya adalah madlarat. Allah swt berfirman;
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyiukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.”[al-Baqarah:216]
Meskipun, penggalan sebelumnya berbicara mengenai perang, namun ayat ini tidak dikhususkan untuk perang saja. Sebab, kata “syai`” (sesuatu) di sini berbentuk umum, mencakup segala sesuatu. Selain itu, huruf “wawu” pada ayat tersebut adalah wawu isti`naaf, yang berfungsi memulai kalimat baru dengan makna yang baru.
Di sisi yang lain, untuk kondisi saat ini kaum muslim masih memiliki banyak pilihan. Bahkan, diantara pilihan-pilihan itu ada pilihan yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Saat ini, kaum muslim di negeri ini belum berada dalam kondisi dlarar (madlarat). Sebab, tatkala tidak berkecimpung dalam parlemen maupun tidak turut serta dalam pemilu, mereka tidak mati maupun cacat tubuhnya. Mereka masih memiliki banyak pilihan dalam perjuangan. Lalu, apa pantas kita beralasan dengan hukum dlarar, padahal kondisi madlarat ini belum terwujud sama sekali?
Atas dasar itu, penggunaan kaedah ahwanusy syaraain dalam masalah ini (pemilu) sama sekali tidak tepat, bahkan terkesan asal-asalan berdalil dan hanya untuk membenarkan keinginan-keinginan sesaat mereka.
Argumentasi
III
Orang yang membolehkan perjuangan lewat parlemen menyatakan, bahwa masalah ini merupakan masalah ijtihadiyyah yang kaum muslim boleh berbeda pendapat.
Orang yang membolehkan perjuangan lewat parlemen menyatakan, bahwa masalah ini merupakan masalah ijtihadiyyah yang kaum muslim boleh berbeda pendapat.
Bantahan
Atas Argumentasi III
Ketidakbolehan kaum muslim berkecimpung di dalam parlemen, tidak boleh dipahami sebagai masalah ijtihadiyah. Sebab, dalil-dalil yang mengharamkan memasuki dan berkecimpung di dalam parlemen (dengan aturan seperti saat ini) dilalahnya adalah pasti. Ijtihad sendiri hanya berlaku pada dalil-dalil yang masih bersifat dzanniyah. Sedangkan pada dalil-dalil yang bersifat qath’iy tidak ada ijtihad di dalamnya. Adapun dalil-dalil yang mengharamkan kaum muslim berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah sebagai berikut.
Pertama. Larangan duduk di majelis yang memperolok-olok dan mendustakan ayat-ayat Allah swt. Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas.
“Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu.”[al-An’am :68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah swt dalam surat al-Nisaa’ :140,
”Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,”Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”[al-Nisaa’:140]
Ayat-ayat ini dilalahnya qath’iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan bahwa, orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, maka mereka telah terjatuh perbuatan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, diqarinahkan (diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”{al-Nisaa’:140] Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dengan forum-forum seperti itu, maka ia telah terjatuh kepada tindak keharaman.
Ayat di atas adalah larangan yang sangat jelas, agar kaum muslim tidak duduk bersama dengan orang-orang yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah. Bahkan, jika kita duduk dengan mereka, maka kita menjadi bagian dari mereka.
Fakta menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem aturan parlemen yang ada di negeri ini telah memperolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah. Tidak hanya itu saja, lembaga ini secara sistemik telah menelorkan aturan kufur yang bertentangan dengan Islam. Hukum perbankan yang ribawi, sistem peradilan yang disangga oleh hukum positif barat, sistem pemerintahan demokratik, sistem interaksi social hedonistic-permisive, dan hukum-hukum kufur lainnya adalah produk dari majelis ini. Persoalannya bukan bagaimana menempatkan kaum muslim sebanyak-banyaknya di parlemen, akan tetapi bagaimana merubah sistem aturan parlemen. Sebab, selama sistem aturan parlemen tidak berubah, maka kaum muslim tidak akan bisa berbuat apapun. Kasus FIS di Aljazair harusnya dijadikan pelajaran berharga bagi kaum muslim.
Padahal, aturan main pemilu dan parlemen telah melarang partai Islam untuk mengubah asas dan dasar negara berdasarkan al-Quran dan sunnah.
Ini semua menunjukkan bahwa melibatkan diri di dalam parlemen dan pemilu merupakan bentuk pengakuan –sadar atau tidak sadar—terhadap sistem kufur itu sendiri. Selain itu, sistem aturan parlemen dan pemilu akan menyeret siapa saja yang terlibat di dalamnya dalam tindak haram dan dimurkai Allah swt.
Walhasil, sistem aturan yang ada di parlemen dan pemilu merupakan penghalang terbesar bagi kaum muslim untuk berkecimpung di dalamnya. Sistem aturan tersebut akan memaksa siapa saja yang ada di dalamnya untuk tunduk pada aturan-aturan kufur. Bahkah, siapa saja yang turut serta dan terlibat di dalamnya adalah bukti pengakuan dirinya terhadap aturan-aturan kufur tersebut –sadar maupun tidak sadar.
Kedua. Ada larangan untuk berhukum dengan aturan yang tidak lahir dari ‘aqidah Islam. Pada dasarnya, sistem aturan yang mengatur pemilu dan parlemen sama sekali tidak lahir dari ‘aqidah Islam. Seluruh aturannya muncul dari paham sekulerisme dan demokrasi yang sangat bertentangan dengan Islam.
Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa pihak yang berhak menetapkan aturan hanyalah Allah swt. Allah swt berfirman, artinya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah swt. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”[al-An’aam:57]
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.”[al-Nisaa’:60]
Imam Ibnu al-‘Arabiy menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan perselisihan antara orang Yahudi dengan orang Munafiq. Kemudian orang Yahudi dan Munafiq itu menyampaikan masalah mereka kepada Rasulullah saw. Perkara itu diputuskan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, orang munafiq itu tidak rela, Selanjutnya, mereka mengajukan perkara mereka kepada Abu Bakar, namun orang munafiq itu juga tidak rela. Lalu, mereka mengajukan perkara mereka kepada ‘Umar. Umar masuk ke dalam rumah dan mengambil pedangnya. Orang munafiq itu dipenggal kepalanya hingga mati. Keluarga orang munafiq itu melaporkan perkara itu kepada Rasulullah saw. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah menolak keputusanmu. Rasulullah menjawab, “Engkau adalah al-Faruuq” Lalu, turunlah firman Allah swt, surat al-Nisaa’:65
Thaghut di sini bermakna, semua aturan atau hukum selain hukum Allah swt. Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-‘Arabiy menyatakan, thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia. Semisal, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan syirik.”
Di tempat lain, al-Quran juga menyatakan hal ini dengan sangat jelas dan tegas. Alah swt berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[al-Nisaa’:65]
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam al-Sa’diy, menyatakan,”Allah swt telah bersumpah atas nama dirinya, sesungguhnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim yang akan memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan…Akan tetapi, mereka tidak cukup hanya bertahkim kepada Rasul saja, akan tetapi, mereka harus menghilangkan keraguan, perasaan sempit, dan kesamaran di dalam hati mereka tatkala bertahkim kepada Rasulullah saw…Barangsiapa menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw dan tidak mau terikat dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka ia telah kafir.
Al-Quran juga menyatakan di dalam ayat lain;
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[al-Maidah:48]
Pesan-pesan di atas juga diperkuat dengan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam hadits-hadits shahih. Diantaranya, Rasulullah saw pernah bersabda, artinya, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan, dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak.”[HR. Bukhari & Muslim].
Nash-nash di atas merupakan argumentasi kokoh atas wajibnya seorang mukmin untuk selalu terikat dengan hukum Allah swt. Sekaligus menunjukkan bahwa seorang mukmin berkewajiban untuk hanya berhukum kepada aturan-aturan Allah swt. Siapa saja yang mengingkari aturan Allah swt, mendustakannya, serta menggantinya dengan aturan-aturan lain, kelak akan dimasukkan ke neraka Allah swt. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat tegas.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.[al-A’raf:40]
Bila al-Quran telah menyampaikan pesan di atas dengan sangat jelas dan tegas, tentu tidak ada dalih lagi bagi kaum mukmin untuk menolak ketetapan-ketetapan di atas.
Atas dasar itu, berkecimpung dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu jelas-jelas bertentangan dengan ayat-ayat di atas.
Ketiga. Fakta-fakta pemilu dan parlemen yang berlangsung saat ini adalah factor yang menghalangi kaum muslim untuk terlibat di dalamnya. Sebab, fakta-fakta parlemen kita dan pemilu sekarang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Kami hanya akan memaparkan fakta-fakta yang bathil tersebut secara global. Fakta-fakta tersebut antara lain sebagai berikut;
Ketidakbolehan kaum muslim berkecimpung di dalam parlemen, tidak boleh dipahami sebagai masalah ijtihadiyah. Sebab, dalil-dalil yang mengharamkan memasuki dan berkecimpung di dalam parlemen (dengan aturan seperti saat ini) dilalahnya adalah pasti. Ijtihad sendiri hanya berlaku pada dalil-dalil yang masih bersifat dzanniyah. Sedangkan pada dalil-dalil yang bersifat qath’iy tidak ada ijtihad di dalamnya. Adapun dalil-dalil yang mengharamkan kaum muslim berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah sebagai berikut.
Pertama. Larangan duduk di majelis yang memperolok-olok dan mendustakan ayat-ayat Allah swt. Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas.
“Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu.”[al-An’am :68].
Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah swt dalam surat al-Nisaa’ :140,
”Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,”Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”[al-Nisaa’:140]
Ayat-ayat ini dilalahnya qath’iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan bahwa, orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, maka mereka telah terjatuh perbuatan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, diqarinahkan (diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”{al-Nisaa’:140] Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dengan forum-forum seperti itu, maka ia telah terjatuh kepada tindak keharaman.
Ayat di atas adalah larangan yang sangat jelas, agar kaum muslim tidak duduk bersama dengan orang-orang yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah. Bahkan, jika kita duduk dengan mereka, maka kita menjadi bagian dari mereka.
Fakta menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem aturan parlemen yang ada di negeri ini telah memperolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah. Tidak hanya itu saja, lembaga ini secara sistemik telah menelorkan aturan kufur yang bertentangan dengan Islam. Hukum perbankan yang ribawi, sistem peradilan yang disangga oleh hukum positif barat, sistem pemerintahan demokratik, sistem interaksi social hedonistic-permisive, dan hukum-hukum kufur lainnya adalah produk dari majelis ini. Persoalannya bukan bagaimana menempatkan kaum muslim sebanyak-banyaknya di parlemen, akan tetapi bagaimana merubah sistem aturan parlemen. Sebab, selama sistem aturan parlemen tidak berubah, maka kaum muslim tidak akan bisa berbuat apapun. Kasus FIS di Aljazair harusnya dijadikan pelajaran berharga bagi kaum muslim.
Padahal, aturan main pemilu dan parlemen telah melarang partai Islam untuk mengubah asas dan dasar negara berdasarkan al-Quran dan sunnah.
Ini semua menunjukkan bahwa melibatkan diri di dalam parlemen dan pemilu merupakan bentuk pengakuan –sadar atau tidak sadar—terhadap sistem kufur itu sendiri. Selain itu, sistem aturan parlemen dan pemilu akan menyeret siapa saja yang terlibat di dalamnya dalam tindak haram dan dimurkai Allah swt.
Walhasil, sistem aturan yang ada di parlemen dan pemilu merupakan penghalang terbesar bagi kaum muslim untuk berkecimpung di dalamnya. Sistem aturan tersebut akan memaksa siapa saja yang ada di dalamnya untuk tunduk pada aturan-aturan kufur. Bahkah, siapa saja yang turut serta dan terlibat di dalamnya adalah bukti pengakuan dirinya terhadap aturan-aturan kufur tersebut –sadar maupun tidak sadar.
Kedua. Ada larangan untuk berhukum dengan aturan yang tidak lahir dari ‘aqidah Islam. Pada dasarnya, sistem aturan yang mengatur pemilu dan parlemen sama sekali tidak lahir dari ‘aqidah Islam. Seluruh aturannya muncul dari paham sekulerisme dan demokrasi yang sangat bertentangan dengan Islam.
Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa pihak yang berhak menetapkan aturan hanyalah Allah swt. Allah swt berfirman, artinya:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah swt. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.”[al-An’aam:57]
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya.”[al-Nisaa’:60]
Imam Ibnu al-‘Arabiy menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan perselisihan antara orang Yahudi dengan orang Munafiq. Kemudian orang Yahudi dan Munafiq itu menyampaikan masalah mereka kepada Rasulullah saw. Perkara itu diputuskan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi, orang munafiq itu tidak rela, Selanjutnya, mereka mengajukan perkara mereka kepada Abu Bakar, namun orang munafiq itu juga tidak rela. Lalu, mereka mengajukan perkara mereka kepada ‘Umar. Umar masuk ke dalam rumah dan mengambil pedangnya. Orang munafiq itu dipenggal kepalanya hingga mati. Keluarga orang munafiq itu melaporkan perkara itu kepada Rasulullah saw. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah menolak keputusanmu. Rasulullah menjawab, “Engkau adalah al-Faruuq” Lalu, turunlah firman Allah swt, surat al-Nisaa’:65
Thaghut di sini bermakna, semua aturan atau hukum selain hukum Allah swt. Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-‘Arabiy menyatakan, thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia. Semisal, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan syirik.”
Di tempat lain, al-Quran juga menyatakan hal ini dengan sangat jelas dan tegas. Alah swt berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[al-Nisaa’:65]
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam al-Sa’diy, menyatakan,”Allah swt telah bersumpah atas nama dirinya, sesungguhnya mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim yang akan memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan…Akan tetapi, mereka tidak cukup hanya bertahkim kepada Rasul saja, akan tetapi, mereka harus menghilangkan keraguan, perasaan sempit, dan kesamaran di dalam hati mereka tatkala bertahkim kepada Rasulullah saw…Barangsiapa menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw dan tidak mau terikat dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka ia telah kafir.
Al-Quran juga menyatakan di dalam ayat lain;
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[al-Maidah:48]
Pesan-pesan di atas juga diperkuat dengan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam hadits-hadits shahih. Diantaranya, Rasulullah saw pernah bersabda, artinya, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan, dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak.”[HR. Bukhari & Muslim].
Nash-nash di atas merupakan argumentasi kokoh atas wajibnya seorang mukmin untuk selalu terikat dengan hukum Allah swt. Sekaligus menunjukkan bahwa seorang mukmin berkewajiban untuk hanya berhukum kepada aturan-aturan Allah swt. Siapa saja yang mengingkari aturan Allah swt, mendustakannya, serta menggantinya dengan aturan-aturan lain, kelak akan dimasukkan ke neraka Allah swt. Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat tegas.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan.[al-A’raf:40]
Bila al-Quran telah menyampaikan pesan di atas dengan sangat jelas dan tegas, tentu tidak ada dalih lagi bagi kaum mukmin untuk menolak ketetapan-ketetapan di atas.
Atas dasar itu, berkecimpung dalam parlemen dan ikut serta dalam pemilu jelas-jelas bertentangan dengan ayat-ayat di atas.
Ketiga. Fakta-fakta pemilu dan parlemen yang berlangsung saat ini adalah factor yang menghalangi kaum muslim untuk terlibat di dalamnya. Sebab, fakta-fakta parlemen kita dan pemilu sekarang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Kami hanya akan memaparkan fakta-fakta yang bathil tersebut secara global. Fakta-fakta tersebut antara lain sebagai berikut;
Fakta Bathilnya
Pemilu dan Parlemen
Pertama, selain memilih anggota parlemen, pemilu juga ditujukan untuk memilih presiden secara langsung. Presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan demokratik. Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa keterlibatan kaum muslim dalam pemilihan presiden langsung merupakan tindakan haram. Sebab, kepala negara yang harusnya dipilih kaum muslim adalah seorang khalifah yang akan memberlakukan hukum-hukum Islam. Bahkan, hanya khalifahlah kepala negara yang absah memberlakukan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan presiden yang akan dipilih nanti pada 2004 –maupun yang telah dipilih– oleh kaum muslim tidak akan mungkin menerapkan hukum Islam. Pasalnya, UU no.2 tahun 1999 mengenai Pemilu melarang parpol mengubah asas negara. Konstitusi negara, dan undang-undang negara yang ada juga memustahilkan seorang presiden bisa menerapkan syariah Islam. Walhasil, siapa saja yang menjadi presiden, selama asas negara, konstitusi negara dan perundang-undangan negara tidak diubah berdasarkan ‘aqidah Islam, maka nonsense akan terwujud penerapan syariat Islam.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa pemimpin dalam Islam adalah khalifah.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim : Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami bahwa Syu’bah telah bercerita kepada kami dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata : Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda : Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami ?. Beliau menjawab : Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja”.
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya; Wahab bin Baqiyah Al-Washithi telah menyampaikan kepadaku, bahwa Khalid bin Abdullah al-Jariry telah bercerita kepada kami dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id al-Khudhry berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : Apabila telah dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya : Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka’bah berkata : Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin ‘Ash duduk di naungan Ka’bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,……ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu.”
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya’fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian –sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)– kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Sejarah mutawatir juga menunjukkan bahwa, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’iin telah bersepakat mengangkat seorang khalifah sebagai pemimpin atas seluruh kaum muslim.
Para ‘ulama masyhur dari kalangan kaum muslim bersepakat bahwa khalifah adalah pemimpin atas kaum muslim.
Imam Baidlawiy mendefinisikan khilafah dengan, “Pribadi yang menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syari’at Islam, menjaga agama, dimana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin (ummat).”
Imam Kamal bin Himaam mendefinisikan khilafah dengan, “Orang yang berhak mengatur urusan seluruh kaum muslimin.”
Al-Qalqasyandiy mendefinisikan khilafah dengan, “Kekuasaan umum atas seluruh umat”
Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy mendefinisikan khilafah dengan, “Kepemimpinan umum pada perkara dunia, dan akherat yang dimiliki oleh seseorang.” Kemudian ia menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai,”Khilafah al-Rasuul dalam menegakkan dan menjaga agama yang ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.”
Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khilafah dengan, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama, dan mengatur kehidupan dunia.”
Imam al-Mawardiy mendefinisikannya dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.”
Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah dengan, “Wakil dari Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.”
Selain itu, keikutsertaan kaum muslim dalam pemilihan presiden langsung merupakan bentuk penerimaan terhadap sistem pemerintahan republik-presidensil yang sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Pasalnya, sistem pemerintahan Islam adalah khilafah Islamiyyah; bukan republik presidensil.
Adapun pertentangan antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem republik dapat diringkas sebagai berikut.
Sistem republik dibangun di atas pilar sistem demokrasi, dimana kedaulatan diletakkan di tangan rakyat. Kedaulatan (siyadah/sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang. Rakyat berhak memerintah dan membuat aturan. Rakyat juga memiliki hak untuk menetapkan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar aqidah Islam, serta hukum-hukum syara’. Kedaulatan ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Sebab, yang berhak membuat aturan hanyalah Allah swt semata. Allah swt berfirman, artinya, “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hekekatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu Hukum Syari’at Islam).”
Khalifah hanya berhak mengadopsi hukum dari al-Quran dan Sunnah untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan negara Umat tidak berhak menghentikan Khalifah. Pihak yang berwenang menghentikan khalifah adalah syara’ semata. Dalam hal ini diserahkan kepada mahkamah madzalim. Akan tetapi, rakyat tetap berhak untuk memilih dan mengangkat seseorang untuk menjadi khalifah. Ini didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Oleh karena itu, umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bai’at untuk menjadi wakil mereka.
Dalam sistem republik presidensil, presiden berwenang menjabat sebagai kepala negara sekaligus perdana menteri. Dalam sistem republik presidensil, tidak ada kedudukan perdana menteri, namun yang ada hanyalah menteri. Semisal, Amerika Serikat, Indonesia, dll. Sedangkan dalam sistem republik parlementer, terdapat seorang presiden dan perdana menteri. Wewenang pemerintahan dipegang perdana menteri bukan presiden. Seperti republik Perancis dan Jerman Barat.
Sistem khilafah tidak mengenal menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah, sebagaimana konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi tugas serta departemen-departemen tertentu. Dalam sistem khilafah hanya ada para mu’awin (pembantu khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mu’awin adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan, serta melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh khalifah kepada mereka. Khalifah memimpin mereka, bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif melainkan hanya sebagai kepala negara. Ini disebabkan, bahwa dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan kewenangan tertentu. Oleh karena itu, mu’awin hanya berposisi sebagai pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenang khalifah.
Selain itu, dalam sistem republik [baik presidensil maupun parlementer], presiden bertanggungjawab di depan rakyat atau yang mewakili rakyat. Rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Berbeda dengan sistem kekhilafahan, khalifah, sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat dan wakil-wakilnya tidak berhak memberhentikan khalifah. Khalifah juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ yang menyebabkan ia harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah mahkamah madzalim.
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik, baik presidensil maupun parlementer, senantiasa dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin melebihi dari masa jabatan tersebut. Berbeda dengan sistem khilafah, dalam sistem khilafah tidak mengenal masa jabatan tertentu. Namun, batas masa jabatannya ditentukan berdasarkan kaedah, apakah khalifah masih menerapkan hukum syara’ atau tidak. Oleh karena itu, selama khalifah masih melaksanakan hukum syara’ dengan cara menegakkan dan menerapkan hukum-hukum syara’ kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap berstatus sebagai khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Akan tetapi, bila khalifah meninggalkan hukum syara’ serta tidak menerapkan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, walaupun baru sehari semalam. Dalam kondisi semacam ini khalifah wajib diberhentikan.
Atas dasar itu, sistem pemerintahan Islam berbeda sama sekali dengan sistem republik. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa Islam memperbolehkan mengadopsi sistem republik, atau menyebut “Republik Islam”, merupakan pendapat yang jauh bahkan bertentangan secara diametrikal dengan Islam.
Walhasil, terlibat dalam pemilu –yang salah satu aktivitasnya adalah memilih presiden langsung—merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan syariah Islam.
Kedua. Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di parlemen adalah voting. Keputusan apapun didasarkan pada kaedah suara mayoritas. Lantas, apakah mekanisme seperti dibenarkan menurut syariah Islam?
Benar, dalam perkara-perkara tertentu Islam membenarkan suara terbanyak; terutama hal-hal yang berkenaan dengan masalah teknis dan praktis. Menjelang perang Uhud, Rasulullah saw pernah mengambil suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota Madinah. Mayoritas shahabat menghendaki agar kaum muslim menyongsong musuh di luar kota. Rasulullah saw mengambil suara mayoritas ini, meskipun beliau sendiri condong untuk memilih bertahan di dalam kota Madinah. Dalam perkara-perkara semacam ini, suara mayoritas berlaku.
Namun, dalam perkara-perkara yang lain, voting malah diharamkan. Perkara-perkara yang berhubungan dengan syariah tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting. Hukum syariah atas suatu perbuatan tidak boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas, akan tetapi berdasarkan ijtihad atau istinbath. Wajibnya mengerjakan sholat lima waktu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Sholat lima waktu harus tetap dilaksanakan tanpa perlu menunggu hasil voting terlebih dahulu. Penerapan syariah Islam dari sisi setuju atau tidak setuju, tidak boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Akan tetapi harus ditetapkan berdasarkan pendapat yang sejalan dengan al-Quran dan sunnah. Walaupun mayoritas masyarakat bersepakat untuk tidak menerapkan syariah Islam, seorang muslim tetap tidak boleh mengikuti kesepakatan semacam ini. Sebaliknya, walaupun suatu pendapat disampaikan oleh satu orang, akan tetapi selama pendapatnya sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, maka seluruh kaum muslim wajib untuk mengikutinya.
Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di parlemen –yang bersandar pada suara mayoritas—adalah mekanisme bathil yang bertentangan dengan syariah Islam. Prinsip ini tidak boleh diterima atau dijadikan syarat untuk menerapkan syariah Islam.
Anehnya, sebagian kaum muslim telah terjebak dengan prinsip bathil ini, dan berusaha mati-matian memenangkan suara di parlemen agar penerapan syariah Islam bisa terlaksana. Padahal, ketika kaum mengiyakan dan mengikuti mekanisme ini untuk memutuskan suatu perkara, sesungguhnya ia telah mengakui dan meridloi sebuah mekanisme yang haram.
Syariah Islam harus diperjuangkan sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah saw, bukan dengan mekanisme suara mayoritas. Penerapan syariah Islam harus dimulai dengan penyadaran akan kewajiban menerapkan syariah di tengah-tengah kehidupan. Selanjutnya, partai politik harus menggalang kekuatan umat dan pemimpin-pemimpin yang berpengaruh untuk mempersiapkan peralihan kekuasaan melalui jalan-jalan yang damai.
Atas dasar itu, seorang muslim tidak diperbolehkan sama sekali menerima dan mengakui mekanisme voting untuk memperjuangkan penerapan syariah Islam. Sebab, prinsip suara mayoritas –dalam perkara semacam ini—jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Walhasil, melibatkan diri dalam parlemen dan pemilu merupakan bentuk pelanggaran terhadap syariah Islam.
Ketiga; Aturan-aturan yang diterapkan di negeri ini, sebagian besar merupakan produk kerja Parlemen kita. Di sisi lain kita mengetahui bersama, sebagian besar aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at Islam. Contohnya, aturan-aturan yang menyatakan, pencuri di penjara, pezina dipenjara, perampok di penjara, pembunuh dipenjara, dll. Bahkan sistem perbankan ribawi yang menggerakkan ekonomi rakyat juga lahir parlemen. Aturan-aturan semacam ini jelas-jelas bertentangan secara diametrikal dengan aturan-aturan Islam.
Lanta kita mesti bertanya, apakah kaum muslim yang hendak memperjuangkan Islam melalui masuk parlemen, ridlo duduk dengan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah? Apakah ikhwan-ikhwan di parlemen ridlo duduk bersama dengan orang yang selalu meminta voting untuk menerapkan aturan-aturan Allah swt? Jika memang tidak ridlo, maka pada saat ini juga mereka harus keluar dari parlemen itu.
Fakta parlemen di negeri ini, tidak ubahnya forum yang selalu mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah? Lalu atas dasar apa, sebagian kaum muslim yang mulia masih senang bercokol di majelis yang selalu mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah, dan duduk-duduk dengan orang-orang dzalim; bahkan menjadi anggota Majelis yang Suka Mengolok-olok ayat-ayat Allah swt itu!? Allah swt telah berfirman;
“Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu.”[al-An’am :68].
“Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,”Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”[al-Nisaa’:140].
Fakta-fakta ini sudah cukup dijadikan bukti haramnya berkecimpung dan terlibat dalam parlemen dan pemilu.
Pertama, selain memilih anggota parlemen, pemilu juga ditujukan untuk memilih presiden secara langsung. Presiden adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan demokratik. Kenyataan ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa keterlibatan kaum muslim dalam pemilihan presiden langsung merupakan tindakan haram. Sebab, kepala negara yang harusnya dipilih kaum muslim adalah seorang khalifah yang akan memberlakukan hukum-hukum Islam. Bahkan, hanya khalifahlah kepala negara yang absah memberlakukan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan presiden yang akan dipilih nanti pada 2004 –maupun yang telah dipilih– oleh kaum muslim tidak akan mungkin menerapkan hukum Islam. Pasalnya, UU no.2 tahun 1999 mengenai Pemilu melarang parpol mengubah asas negara. Konstitusi negara, dan undang-undang negara yang ada juga memustahilkan seorang presiden bisa menerapkan syariah Islam. Walhasil, siapa saja yang menjadi presiden, selama asas negara, konstitusi negara dan perundang-undangan negara tidak diubah berdasarkan ‘aqidah Islam, maka nonsense akan terwujud penerapan syariat Islam.
Dalam hadits shahih disebutkan bahwa pemimpin dalam Islam adalah khalifah.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya, berkata Imam Muslim : Muhammad bin Basyar telah bercerita kepada kami bahwa Muhammad bin Ja’far telah bercerita kepada kami bahwa Syu’bah telah bercerita kepada kami dari Faratul Qazaz dari Abi Hazm berkata : Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah selama lima tahun, dan suatu saat aku pernah mendengarnya menyampaikan sebuah hadits dari Nabi saw telah bersabda : Dulu Bani Israil selalu diurusi oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi Nabi sesudahku, (tetapi) nanti akan muncul banyak khalifah. Para shahabat bertanya, apakah yang engkau perintahkan kepada kami ?. Beliau menjawab : Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja”.
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam kitab sahihnya; Wahab bin Baqiyah Al-Washithi telah menyampaikan kepadaku, bahwa Khalid bin Abdullah al-Jariry telah bercerita kepada kami dari Abi Nadhrah dari Abi Sa’id al-Khudhry berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : Apabila telah dibai’at dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya : Zahir bin Harb dan Ishaq bin Ibrahim telah bercerita kepada kami, Ishaq berkata telah memberi khabar kepada kami dan Zahir berkata telah bercerita kepada kami Jarir dari A’masy dari Zaid bin Wahab dari Abdurrahman bin Abdu Rabil Ka’bah berkata : Aku masuk dalam masjid, dan ketika Abdullah bin Amru bin ‘Ash duduk di naungan Ka’bah dan manusia mengelilinginya, aku menghampirinya lalu aku duduk di hadapannya, kemudian dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian kami singgah di suatu tempat persinggahan,……ketika seseorang menyeru untuk shalat berjamaah, kami kemudian berkumpul di sekeliling Rasulullah saw. Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya tiada seorang Nabi sebelumku kecuali mereka memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan umatnya kepada kebaikan, dan mengingatkan dari keburukan dari apa diketahuinya bagi mereka. Sampai kemudian Nabi bersabda : Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya. Jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu.”
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab sahihnya: Utsman bin Abi Syaibah telah bercerita kepada kami bahwa Yunus bin Abi Ya’fur telah bercerita kepada kami dari bapaknya dari Arfajah berkata : Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian –sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (khalifah)– kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah dia.”
Sejarah mutawatir juga menunjukkan bahwa, para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’iin telah bersepakat mengangkat seorang khalifah sebagai pemimpin atas seluruh kaum muslim.
Para ‘ulama masyhur dari kalangan kaum muslim bersepakat bahwa khalifah adalah pemimpin atas kaum muslim.
Imam Baidlawiy mendefinisikan khilafah dengan, “Pribadi yang menggantikan Rasulullah saw dalam menegakkan syari’at Islam, menjaga agama, dimana ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin (ummat).”
Imam Kamal bin Himaam mendefinisikan khilafah dengan, “Orang yang berhak mengatur urusan seluruh kaum muslimin.”
Al-Qalqasyandiy mendefinisikan khilafah dengan, “Kekuasaan umum atas seluruh umat”
Imam ‘Adldi al-Diin al-Aijiiy mendefinisikan khilafah dengan, “Kepemimpinan umum pada perkara dunia, dan akherat yang dimiliki oleh seseorang.” Kemudian ia menyatakan dalam kitab yang sama, bahwa khalifah lebih utama disebut sebagai,”Khilafah al-Rasuul dalam menegakkan dan menjaga agama yang ia wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.”
Sebagian ‘ulama Syafi’iyyah mendefinisikan khilafah dengan, “Imam A’dzam (Pemimpin Agung) yang mengganti posisi Rasul dalam menjaga agama, dan mengatur kehidupan dunia.”
Imam al-Mawardiy mendefinisikannya dengan, “Imamah yang diposisikan untuk Khilafah Nubuwwah dalam hal menjaga agama dan urusan dunia.”
Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah dengan, “Wakil dari Allah dalam menjaga agama dan urusan dunia.”
Selain itu, keikutsertaan kaum muslim dalam pemilihan presiden langsung merupakan bentuk penerimaan terhadap sistem pemerintahan republik-presidensil yang sangat bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam. Pasalnya, sistem pemerintahan Islam adalah khilafah Islamiyyah; bukan republik presidensil.
Adapun pertentangan antara sistem pemerintahan Islam dengan sistem republik dapat diringkas sebagai berikut.
Sistem republik dibangun di atas pilar sistem demokrasi, dimana kedaulatan diletakkan di tangan rakyat. Kedaulatan (siyadah/sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat undang-undang. Rakyat berhak memerintah dan membuat aturan. Rakyat juga memiliki hak untuk menetapkan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta merubahnya.
Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar aqidah Islam, serta hukum-hukum syara’. Kedaulatan ada di tangan syara’, bukan di tangan umat. Umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Sebab, yang berhak membuat aturan hanyalah Allah swt semata. Allah swt berfirman, artinya, “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hekekatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. Rasulullah saw bersabda, “Tidak beriman seseorang sehingga hawa nafsunya (keinginannya) disesuaikan dengan apa yang telah aku datangkan (yaitu Hukum Syari’at Islam).”
Khalifah hanya berhak mengadopsi hukum dari al-Quran dan Sunnah untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan negara Umat tidak berhak menghentikan Khalifah. Pihak yang berwenang menghentikan khalifah adalah syara’ semata. Dalam hal ini diserahkan kepada mahkamah madzalim. Akan tetapi, rakyat tetap berhak untuk memilih dan mengangkat seseorang untuk menjadi khalifah. Ini didasarkan kepada suatu kenyataan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Oleh karena itu, umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka bai’at untuk menjadi wakil mereka.
Dalam sistem republik presidensil, presiden berwenang menjabat sebagai kepala negara sekaligus perdana menteri. Dalam sistem republik presidensil, tidak ada kedudukan perdana menteri, namun yang ada hanyalah menteri. Semisal, Amerika Serikat, Indonesia, dll. Sedangkan dalam sistem republik parlementer, terdapat seorang presiden dan perdana menteri. Wewenang pemerintahan dipegang perdana menteri bukan presiden. Seperti republik Perancis dan Jerman Barat.
Sistem khilafah tidak mengenal menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah, sebagaimana konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi tugas serta departemen-departemen tertentu. Dalam sistem khilafah hanya ada para mu’awin (pembantu khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mu’awin adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan, serta melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh khalifah kepada mereka. Khalifah memimpin mereka, bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif melainkan hanya sebagai kepala negara. Ini disebabkan, bahwa dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan kewenangan tertentu. Oleh karena itu, mu’awin hanya berposisi sebagai pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenang khalifah.
Selain itu, dalam sistem republik [baik presidensil maupun parlementer], presiden bertanggungjawab di depan rakyat atau yang mewakili rakyat. Rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Berbeda dengan sistem kekhilafahan, khalifah, sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat dan wakil-wakilnya tidak berhak memberhentikan khalifah. Khalifah juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ yang menyebabkan ia harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah mahkamah madzalim.
Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menteri) dalam sistem republik, baik presidensil maupun parlementer, senantiasa dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin melebihi dari masa jabatan tersebut. Berbeda dengan sistem khilafah, dalam sistem khilafah tidak mengenal masa jabatan tertentu. Namun, batas masa jabatannya ditentukan berdasarkan kaedah, apakah khalifah masih menerapkan hukum syara’ atau tidak. Oleh karena itu, selama khalifah masih melaksanakan hukum syara’ dengan cara menegakkan dan menerapkan hukum-hukum syara’ kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka dia tetap berstatus sebagai khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Akan tetapi, bila khalifah meninggalkan hukum syara’ serta tidak menerapkan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, walaupun baru sehari semalam. Dalam kondisi semacam ini khalifah wajib diberhentikan.
Atas dasar itu, sistem pemerintahan Islam berbeda sama sekali dengan sistem republik. Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa Islam memperbolehkan mengadopsi sistem republik, atau menyebut “Republik Islam”, merupakan pendapat yang jauh bahkan bertentangan secara diametrikal dengan Islam.
Walhasil, terlibat dalam pemilu –yang salah satu aktivitasnya adalah memilih presiden langsung—merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan syariah Islam.
Kedua. Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di parlemen adalah voting. Keputusan apapun didasarkan pada kaedah suara mayoritas. Lantas, apakah mekanisme seperti dibenarkan menurut syariah Islam?
Benar, dalam perkara-perkara tertentu Islam membenarkan suara terbanyak; terutama hal-hal yang berkenaan dengan masalah teknis dan praktis. Menjelang perang Uhud, Rasulullah saw pernah mengambil suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota Madinah. Mayoritas shahabat menghendaki agar kaum muslim menyongsong musuh di luar kota. Rasulullah saw mengambil suara mayoritas ini, meskipun beliau sendiri condong untuk memilih bertahan di dalam kota Madinah. Dalam perkara-perkara semacam ini, suara mayoritas berlaku.
Namun, dalam perkara-perkara yang lain, voting malah diharamkan. Perkara-perkara yang berhubungan dengan syariah tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting. Hukum syariah atas suatu perbuatan tidak boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas, akan tetapi berdasarkan ijtihad atau istinbath. Wajibnya mengerjakan sholat lima waktu ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Sholat lima waktu harus tetap dilaksanakan tanpa perlu menunggu hasil voting terlebih dahulu. Penerapan syariah Islam dari sisi setuju atau tidak setuju, tidak boleh ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Akan tetapi harus ditetapkan berdasarkan pendapat yang sejalan dengan al-Quran dan sunnah. Walaupun mayoritas masyarakat bersepakat untuk tidak menerapkan syariah Islam, seorang muslim tetap tidak boleh mengikuti kesepakatan semacam ini. Sebaliknya, walaupun suatu pendapat disampaikan oleh satu orang, akan tetapi selama pendapatnya sejalan dengan al-Quran dan Sunnah, maka seluruh kaum muslim wajib untuk mengikutinya.
Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di parlemen –yang bersandar pada suara mayoritas—adalah mekanisme bathil yang bertentangan dengan syariah Islam. Prinsip ini tidak boleh diterima atau dijadikan syarat untuk menerapkan syariah Islam.
Anehnya, sebagian kaum muslim telah terjebak dengan prinsip bathil ini, dan berusaha mati-matian memenangkan suara di parlemen agar penerapan syariah Islam bisa terlaksana. Padahal, ketika kaum mengiyakan dan mengikuti mekanisme ini untuk memutuskan suatu perkara, sesungguhnya ia telah mengakui dan meridloi sebuah mekanisme yang haram.
Syariah Islam harus diperjuangkan sesuai dengan manhaj dakwah Rasulullah saw, bukan dengan mekanisme suara mayoritas. Penerapan syariah Islam harus dimulai dengan penyadaran akan kewajiban menerapkan syariah di tengah-tengah kehidupan. Selanjutnya, partai politik harus menggalang kekuatan umat dan pemimpin-pemimpin yang berpengaruh untuk mempersiapkan peralihan kekuasaan melalui jalan-jalan yang damai.
Atas dasar itu, seorang muslim tidak diperbolehkan sama sekali menerima dan mengakui mekanisme voting untuk memperjuangkan penerapan syariah Islam. Sebab, prinsip suara mayoritas –dalam perkara semacam ini—jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam. Walhasil, melibatkan diri dalam parlemen dan pemilu merupakan bentuk pelanggaran terhadap syariah Islam.
Ketiga; Aturan-aturan yang diterapkan di negeri ini, sebagian besar merupakan produk kerja Parlemen kita. Di sisi lain kita mengetahui bersama, sebagian besar aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at Islam. Contohnya, aturan-aturan yang menyatakan, pencuri di penjara, pezina dipenjara, perampok di penjara, pembunuh dipenjara, dll. Bahkan sistem perbankan ribawi yang menggerakkan ekonomi rakyat juga lahir parlemen. Aturan-aturan semacam ini jelas-jelas bertentangan secara diametrikal dengan aturan-aturan Islam.
Lanta kita mesti bertanya, apakah kaum muslim yang hendak memperjuangkan Islam melalui masuk parlemen, ridlo duduk dengan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah? Apakah ikhwan-ikhwan di parlemen ridlo duduk bersama dengan orang yang selalu meminta voting untuk menerapkan aturan-aturan Allah swt? Jika memang tidak ridlo, maka pada saat ini juga mereka harus keluar dari parlemen itu.
Fakta parlemen di negeri ini, tidak ubahnya forum yang selalu mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah? Lalu atas dasar apa, sebagian kaum muslim yang mulia masih senang bercokol di majelis yang selalu mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah, dan duduk-duduk dengan orang-orang dzalim; bahkan menjadi anggota Majelis yang Suka Mengolok-olok ayat-ayat Allah swt itu!? Allah swt telah berfirman;
“Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu.”[al-An’am :68].
“Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,”Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka”[al-Nisaa’:140].
Fakta-fakta ini sudah cukup dijadikan bukti haramnya berkecimpung dan terlibat dalam parlemen dan pemilu.
Argumentasi
IV
Mereka mengetengahkan nash yang menuturkan tentang perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menyimpulkan bahwa perjanjian Hudaibiyyah merupakan dalil kuat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan kompromi dengan orang-orang kafir untuk meraih kemenangan yang lebih besar. Setelah itu, mereka menganogkan perjanjian Hudaibiyyah dengan aktivitas masuk parlemen. Masuk parlemen merupakan bentuk kompromi dengan sistem kufur, akan tetapi kompromi ini ditujukan untuk “kemenangan kaum muslim”. Walhasil, masuk ke parlemen diperbolehkan selama ditujukan untuk kemenangan kaum muslim.
Mereka mengetengahkan nash yang menuturkan tentang perjanjian Hudaibiyyah. Mereka menyimpulkan bahwa perjanjian Hudaibiyyah merupakan dalil kuat yang menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan kompromi dengan orang-orang kafir untuk meraih kemenangan yang lebih besar. Setelah itu, mereka menganogkan perjanjian Hudaibiyyah dengan aktivitas masuk parlemen. Masuk parlemen merupakan bentuk kompromi dengan sistem kufur, akan tetapi kompromi ini ditujukan untuk “kemenangan kaum muslim”. Walhasil, masuk ke parlemen diperbolehkan selama ditujukan untuk kemenangan kaum muslim.
Bantahan
Atas Argumentasi IV
Kisah perjanjian Hudaibiyyah tidak bisa dianalogkan, atau dijadikan dalil bolehnya gerakan Islam berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, perjanjian Hudaibiyyah adalah perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, dengan orang-orang Quraisy sebagai sebuah institusi negara. Sedangkan parlemen bukanlah aktivitas yang melibatkan dua negara sebagaimana perjanjian Hudaibiyyah yang dilakukan oleh Rasulullah dengan kaum Quraisy. Dalam kondisi semacam ini keduanya tidak bisa dianalogkan satu dengan yang lain, sebab, yang diperbandingkan adalah sesuatu yang berbeda.
Selain itu, bila kita hendak mengqiyaskan suatu hukum atas suatu perkara, maka harus ada ‘illat syari’iyyah. Padahal, kisah perjanjian Hudaibiyyah tidak mengandung ‘illat sama sekali. Atas dasar itu, perjanjian Hudaibiyyah tidak bisa dianalogkan dengan parlemen maupun pemilu. Sebab, salah satu rukun dari qiyas tidak terpenuhi.
Di sisi yang lain, ketetapan Rasulullah saw pada saat perjanjian Hudaibiyyah, didasarkan pada ketentuan Allah swt. Kemenangannya pun sudah dijamin oleh Allah swt. Sedangkan berkecimpung di dalam parlemen justru bertentangan dengan nash-nash yang sharih. Dari sisi kemenangan, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan, bahwa dengan berkecimpungnya kaum muslim dalam parlemen maka mereka akan mendapatkan kemenangan. Justru kenyataan menunjukkan sebaliknya. Meskipun partai Refah di Turki, dan FIS di Aljazair berhasil memenangkan pemilu, tetap saja mereka tidak bisa memperoleh kemenangan.
Seluruh penjelasan di atas sudah cukup untuk membantah sebagian gerakan Islam yang membolehkan berkecimpung dalam parlemen. Paparan di atas juga telah membuktikan kebathilan pendapat yang membolehkan berkecimpung di dalam parlemen dengan analogi shulh Hudaibiyyah (perjanjian Hudaibiyyah).
Kisah perjanjian Hudaibiyyah tidak bisa dianalogkan, atau dijadikan dalil bolehnya gerakan Islam berkecimpung di dalam parlemen. Sebab, perjanjian Hudaibiyyah adalah perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah saw dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, dengan orang-orang Quraisy sebagai sebuah institusi negara. Sedangkan parlemen bukanlah aktivitas yang melibatkan dua negara sebagaimana perjanjian Hudaibiyyah yang dilakukan oleh Rasulullah dengan kaum Quraisy. Dalam kondisi semacam ini keduanya tidak bisa dianalogkan satu dengan yang lain, sebab, yang diperbandingkan adalah sesuatu yang berbeda.
Selain itu, bila kita hendak mengqiyaskan suatu hukum atas suatu perkara, maka harus ada ‘illat syari’iyyah. Padahal, kisah perjanjian Hudaibiyyah tidak mengandung ‘illat sama sekali. Atas dasar itu, perjanjian Hudaibiyyah tidak bisa dianalogkan dengan parlemen maupun pemilu. Sebab, salah satu rukun dari qiyas tidak terpenuhi.
Di sisi yang lain, ketetapan Rasulullah saw pada saat perjanjian Hudaibiyyah, didasarkan pada ketentuan Allah swt. Kemenangannya pun sudah dijamin oleh Allah swt. Sedangkan berkecimpung di dalam parlemen justru bertentangan dengan nash-nash yang sharih. Dari sisi kemenangan, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan, bahwa dengan berkecimpungnya kaum muslim dalam parlemen maka mereka akan mendapatkan kemenangan. Justru kenyataan menunjukkan sebaliknya. Meskipun partai Refah di Turki, dan FIS di Aljazair berhasil memenangkan pemilu, tetap saja mereka tidak bisa memperoleh kemenangan.
Seluruh penjelasan di atas sudah cukup untuk membantah sebagian gerakan Islam yang membolehkan berkecimpung dalam parlemen. Paparan di atas juga telah membuktikan kebathilan pendapat yang membolehkan berkecimpung di dalam parlemen dengan analogi shulh Hudaibiyyah (perjanjian Hudaibiyyah).
Argumentasi
V
Mereka juga mengetengahkan kaedah ushul “al-ashl fi al-asysya` ibahah ma lam yarid daliil al-tahriim” [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya] dan juga kaedah ushul “Al-ashlu fil-’ibaadatil-buthlaanu hatta yaquuma daliylu ‘alal-amri”. Hukum asal ibadah adalah bathal hingga ada dalil yang memerintahkan.
Dalil pertama berkaitan dengan masalah muamalah dan masalah-masalah teknis. Sedangkan dalil kedua berhubungan dengan masalah ibadah. Pemilu adalah perbuatan yang termasuk dalam kategori mumalah dan masalah-masalah teknis. Atas dasar itu, hukum asal pemilu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan kaedah kedua berhubungan dengan masalah ibadah. Hukum asal dari ibadah adalah bathal sampai ada perintah dari Allah swt. Walhasil, untuk tata cara ibadah harus dikembalikan kepada Allah swt (tauqifiy). Manusia tidak diperbolehkan merekayasa atau menentukan sendiri tata cara peribadatan kepada Allah swt. Mereka menjelaskan bahwa, pemilu bukanlah termasuk masalah ibadah, oleh karena itu berlaku kaedah pertama; “al-ashl fi al-asysya` ibahah ma lam yarid daliil al-tahriim” [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya]. Walhasil, hukum pemilu adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Mereka juga mengetengahkan kaedah ushul “al-ashl fi al-asysya` ibahah ma lam yarid daliil al-tahriim” [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya] dan juga kaedah ushul “Al-ashlu fil-’ibaadatil-buthlaanu hatta yaquuma daliylu ‘alal-amri”. Hukum asal ibadah adalah bathal hingga ada dalil yang memerintahkan.
Dalil pertama berkaitan dengan masalah muamalah dan masalah-masalah teknis. Sedangkan dalil kedua berhubungan dengan masalah ibadah. Pemilu adalah perbuatan yang termasuk dalam kategori mumalah dan masalah-masalah teknis. Atas dasar itu, hukum asal pemilu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Sedangkan kaedah kedua berhubungan dengan masalah ibadah. Hukum asal dari ibadah adalah bathal sampai ada perintah dari Allah swt. Walhasil, untuk tata cara ibadah harus dikembalikan kepada Allah swt (tauqifiy). Manusia tidak diperbolehkan merekayasa atau menentukan sendiri tata cara peribadatan kepada Allah swt. Mereka menjelaskan bahwa, pemilu bukanlah termasuk masalah ibadah, oleh karena itu berlaku kaedah pertama; “al-ashl fi al-asysya` ibahah ma lam yarid daliil al-tahriim” [hukum asal sesuatu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya]. Walhasil, hukum pemilu adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Bantahan
Atas Argumentasi V
Adapun mengenai kaedah ushul, “Al-ashlu fil-asy-yaa-il-ibaahah hatta yadulla ad-daliylu ‘ala at-tahriymi”(Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan”, harus diletakkan secara proporsional sesuatu dengan obyek yang dibahas oleh kaedah tersebut.
Pada dasarnya kaedah ini berbicara tentang hukum benda, bukan perbuatan. Dengan kata lain, obyek pembicaraan (maudluu’ al-hadiitsah) kaedah ini adalah benda. Oleh karena itu, menggunakan kaedah ini untuk menghukumi perbuatan manusia jelas-jelas menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Surat al-Baqarah ayat 29 dari sisi khithab (seruan) berbicara tentang hukum benda.
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu..”[2:29]
Yang dimaksud dengan segala sesuatu di sini bukanlah perbuatan, akan tetapi khusus hanya benda. Pengertian ini sangat jelas terlihat pada ayat itu, …”Segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk kamu…”.
Ibnu ‘Arabiy menyatakan bahwa ayat ini (2:29) hanya berhubungan dengan hukum benda, bukan perbuatan. Beliau kemudian menjelaskan tiga pendapat ‘ulama dalam menetapkan kaedah ushul fiqh untuk benda. Kemudian beliau mengutip pendapat dari Ilkiya al-Haraasiy, yang menyatakan bahwa menjelaskan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkannya. Pendapat senada juga diketengahkan oleh Imam Syaukani dalam kita Nailul Authar dan Irsyadul Fuhul.
Atas dasar itu, berdasarkan nash-nash umum dapat disimpulkan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan kaedah ushul fiqh untuk perbuatan adalah “al-ashl fi al-af’aal al-taqayyud bi huk al-syar’i” (Hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’). Kaedah ini didasarkan pada al-Quran dan Sunnah.
Di dalam al-Quran telah dinyatakan:
“maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[al-Maidah:48]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[al-Nisaa’:65]; serta ayat-ayat lain yang senada pengertiannya.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan seorang muslim harus selalu terikat dengan hukum Allah swt. Dengan kata lain, perbuatan manusia bisa berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram tergantung dari khithabnya. Oleh karena itu, hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat, bukan mubah. Sebab, perbuatan-perbuatan yang baru muncul di zaman sekarang dan tidak ada di masa nabi Saw tetap harus digali hukumnya dari al-Quran dan Sunnah. Adapun hukumnya tergantung dari khithab yang ditunjukkan oleh dalil. Dengan demikian, hukum perbuatan tidak secara otomatis mubah, akan tetapi terikat dengan syariat Islam.
Dalam hadits, Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan dan perbuatan itu tidak diperintahkan oleh kami maka perbuatan itu terlarang.”[HR. Muttafaq ‘Alaihi].
Hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum asal perbuatan bukan mubah, akan tetapi harus terikat dengan hukum syara’. Ini bisa dilihat dari redaksi hadits di atas, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak..”. Semua perbuatan harus didasarkan pada perintah Rasulullah saw, baik yang berhubungan dengan masalah muamalah, keduniaan maupun keakheratan. Semuanya harus bersandarkan dalil yang menjelaskannya.
Ini berbeda dengan benda. Berdasarkan nash-nash umum yang ada di al-Quran bisa disimpulkan dengan sangat jelas, bahwa hukum asal benda adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sebab, Allah swt telah menyediakan seluruh yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Kata “sakhkhara” [2:29] itu bermakna luas: bisa memanfaatkannya, mengkonsumsinya dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa, hukum asal dari benda adalah mubah bolehnya memanfaatkan benda, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan hukum asal perbuatan bukan mubah, wajib, makruh, sunnah maupun haram. Akan tetapi, hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’.
Perbuatan bisa berhukum mubah, makruh, wajib, sunnah dan haram tergantung dari indikasi yang ditunjukkan oleh nash. Perbuatan di sini juga mencakup masalah-masalah mu’amalah, serta perbuatan-perbuatan baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah saw. Tidak benar dinyatakan bahwa urusan muamalah dan urusan dunia yang tidak ditemukan kejelasan nash dan ‘illatnya pasti berhukum mubah. Sebab, hukum asal perbuatan bukanlah mubah, akan tetapi terikat dengan hukum syara’. Selain itu, setiap perbuatan pasti ada dalil yang menunjukkannya. Ini di dasarkan pada firman Allah swt surat an-Nahl:89:
“Kami telah menurunkan kepadamu (Mohammad) al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu”.
Hukum atas perbuatan bisa dilacak dengan cara memahami mafhum dan manthuq suatu nash, dan qiyas (yang melibatkan ‘illat di dalamnya).
Perbuatan apapun, baik yang menyangkut muamalah maupun perkara-perkara teknis bukan berhukum mubah, akan tetapi terikat dengan syara’ (wajib, mubah, sunnah, makruh,dan haram).
Demikian juga dengan masalah ibadah. Hukum ibadah berbeda dengan tata cara beribadah. Hukum ibadah adalah wajib. Sebab, dalil umum menyatakan bahwa manusia dan jin telah diciptakan untuk beribadah.
Ibadah di sini bermakna luas, tidak hanya menyangkut ibadah ritual, akan tetapi termasuk muamalah, jinayah dan lain sebagainya. Sedangkan tata cara beribadah harus selalu terikat dengan syari’at. Tata cara ibadah kepada Allah harus didasarkan pada dalil-dalil syara’. Artinya, tata cara ibadah tidak boleh ditentukan oleh manusia sendiri, akan tetapi tauqifiy (apa adanya sesuai dengan perintah Allah).
Kaedah ushul dari ibadah yang lebih benar adalah “al-ashl fi al-‘ibadah tauqifiy” (asal dari ibadah adalah ditentukan oleh Allah swt). Yang dimaksud oleh kaedah ini adalah tata caranya, bukan pada hukumnya. Maksudnya, seseorang tidak boleh membuat tata cara ibadah sampai Allah swt mengajarkan tata caranya dan memerintahkan kepada kita.
Di sisi yang lain, ibadah bersifat luas, tidak hanya ibadah-ibadah bermakna ibadah ritual belaka; namun juga mencakup masalah mu’amalah dan kehidupan dunia. Atas dasar itu, dalam masalah ibadah kita harus terikat dengan perintah dan larangan Allah swt. Muamalah termasuk bagian dari ibadah, termasuk juga masalah-masalah teknis. Ini membuktikan bahwa, hukum asal dari muamalah dan masalah-masalah teknis (karena termasuk ibadah) adalah sejalan dengan syari’at Allah swt, bukan mubah.
Benar, hukum asal pemilu adalah mubah dan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan shahabat. Akan tetapi, fakta pemilu pada masa Rasulullah saw berbeda dengan fakta pemilu sekarang ini. Oleh karena itu, menyamakan pemilu di jaman Rasulullah saw dengan pemilu sekarang ini adalah suatu kesalahan yang sangat besar. Apalagi, fakta pemilu sekarang telah dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kondisi semacam ini, tentu kita tidak akan menyatakan bahwa pemilu dan parlemen berhukum mubah. Fakta haramnya pemilu terlihat pada realitas berikut ini.
Pertama, undang-undang pemilu sekarang ini tidak lahir dari ‘aqidah Islam akan tetapi lahir dari sistem hukum posistif yang dijiwai paham sekulerisme.
Kedua, pemilu ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang bertugas membuat aturan-aturan yang banyak bertentangan dengan syari’at Islam dan memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Padahal, sistem presidensil bukanlah sistem pemerintahan yang Islamiy. Pemimpin dalam Islam adalah khalifah bukan presiden. Atas dasar itu, mengangkat presiden hukumnya adalah haram. Padahal salah satu aktivitas pemilu adalah mengangkat presiden. Berarti ikut pemilu adalah haram.
Ketiga; Aturan main di Parlemen kita juga sangat jelas, menetapkan keputusan apapun dengan voting. Apakah ini dibenarkan dalam Islam? Dalam hal-hal tertentu suara terbanyak memang bisa dibenarkan dalam Islam; terutama hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis. Rasulullah saw pernah mengambil suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota. Voting hanya berlaku pada kasus-kasus semacam ini.
Dalam kasus yang lain, voting malah diharamkan. Contohnya, perkara-perkara yang telah ditetapkan hukumnya secara pasti. Wajibnya mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Sungguh, bila ada pihak yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, ia telah terjatuh kepada tindak haram.
Keempat, Di lain sisi, parlemen-parlemen kita ini banyak menelorkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Bahkan, 80% lebih aturan yang berlaku di negeri ini –produk parlemen—adalah aturan kufur yang bertentangan dengan Islam. Walhasil, mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, maupun memilih untuk menempatkan orang menjadi wakil rakyat yang bertugas seperti ini, jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt.
Fakta-fakta ini adalah bukti bahwa aktivitas parlemen dan pemilu adalah aktivitas yang haram. Atas dasar itu, menerapkan kaedah di atas untuk membenarkan dan membolehkan pemilu sama artinya dengan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Adapun mengenai kaedah ushul, “Al-ashlu fil-asy-yaa-il-ibaahah hatta yadulla ad-daliylu ‘ala at-tahriymi”(Hukum asal dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkan”, harus diletakkan secara proporsional sesuatu dengan obyek yang dibahas oleh kaedah tersebut.
Pada dasarnya kaedah ini berbicara tentang hukum benda, bukan perbuatan. Dengan kata lain, obyek pembicaraan (maudluu’ al-hadiitsah) kaedah ini adalah benda. Oleh karena itu, menggunakan kaedah ini untuk menghukumi perbuatan manusia jelas-jelas menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Surat al-Baqarah ayat 29 dari sisi khithab (seruan) berbicara tentang hukum benda.
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi ini untuk kamu..”[2:29]
Yang dimaksud dengan segala sesuatu di sini bukanlah perbuatan, akan tetapi khusus hanya benda. Pengertian ini sangat jelas terlihat pada ayat itu, …”Segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk kamu…”.
Ibnu ‘Arabiy menyatakan bahwa ayat ini (2:29) hanya berhubungan dengan hukum benda, bukan perbuatan. Beliau kemudian menjelaskan tiga pendapat ‘ulama dalam menetapkan kaedah ushul fiqh untuk benda. Kemudian beliau mengutip pendapat dari Ilkiya al-Haraasiy, yang menyatakan bahwa menjelaskan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah hingga ada dalil yang mengharamkannya. Pendapat senada juga diketengahkan oleh Imam Syaukani dalam kita Nailul Authar dan Irsyadul Fuhul.
Atas dasar itu, berdasarkan nash-nash umum dapat disimpulkan bahwa hukum asal dari benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan kaedah ushul fiqh untuk perbuatan adalah “al-ashl fi al-af’aal al-taqayyud bi huk al-syar’i” (Hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’). Kaedah ini didasarkan pada al-Quran dan Sunnah.
Di dalam al-Quran telah dinyatakan:
“maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[al-Maidah:48]
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.[al-Nisaa’:65]; serta ayat-ayat lain yang senada pengertiannya.
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa perbuatan seorang muslim harus selalu terikat dengan hukum Allah swt. Dengan kata lain, perbuatan manusia bisa berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram tergantung dari khithabnya. Oleh karena itu, hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat, bukan mubah. Sebab, perbuatan-perbuatan yang baru muncul di zaman sekarang dan tidak ada di masa nabi Saw tetap harus digali hukumnya dari al-Quran dan Sunnah. Adapun hukumnya tergantung dari khithab yang ditunjukkan oleh dalil. Dengan demikian, hukum perbuatan tidak secara otomatis mubah, akan tetapi terikat dengan syariat Islam.
Dalam hadits, Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan dan perbuatan itu tidak diperintahkan oleh kami maka perbuatan itu terlarang.”[HR. Muttafaq ‘Alaihi].
Hadits ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa hukum asal perbuatan bukan mubah, akan tetapi harus terikat dengan hukum syara’. Ini bisa dilihat dari redaksi hadits di atas, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan dan perbuatan itu tidak diperintahkan kami, maka perbuatan itu tertolak..”. Semua perbuatan harus didasarkan pada perintah Rasulullah saw, baik yang berhubungan dengan masalah muamalah, keduniaan maupun keakheratan. Semuanya harus bersandarkan dalil yang menjelaskannya.
Ini berbeda dengan benda. Berdasarkan nash-nash umum yang ada di al-Quran bisa disimpulkan dengan sangat jelas, bahwa hukum asal benda adalah mubah, sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sebab, Allah swt telah menyediakan seluruh yang ada di muka bumi ini untuk manusia. Kata “sakhkhara” [2:29] itu bermakna luas: bisa memanfaatkannya, mengkonsumsinya dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa, hukum asal dari benda adalah mubah bolehnya memanfaatkan benda, sampai ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan hukum asal perbuatan bukan mubah, wajib, makruh, sunnah maupun haram. Akan tetapi, hukum asal dari perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’.
Perbuatan bisa berhukum mubah, makruh, wajib, sunnah dan haram tergantung dari indikasi yang ditunjukkan oleh nash. Perbuatan di sini juga mencakup masalah-masalah mu’amalah, serta perbuatan-perbuatan baru yang tidak dikenal di masa Rasulullah saw. Tidak benar dinyatakan bahwa urusan muamalah dan urusan dunia yang tidak ditemukan kejelasan nash dan ‘illatnya pasti berhukum mubah. Sebab, hukum asal perbuatan bukanlah mubah, akan tetapi terikat dengan hukum syara’. Selain itu, setiap perbuatan pasti ada dalil yang menunjukkannya. Ini di dasarkan pada firman Allah swt surat an-Nahl:89:
“Kami telah menurunkan kepadamu (Mohammad) al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu”.
Hukum atas perbuatan bisa dilacak dengan cara memahami mafhum dan manthuq suatu nash, dan qiyas (yang melibatkan ‘illat di dalamnya).
Perbuatan apapun, baik yang menyangkut muamalah maupun perkara-perkara teknis bukan berhukum mubah, akan tetapi terikat dengan syara’ (wajib, mubah, sunnah, makruh,dan haram).
Demikian juga dengan masalah ibadah. Hukum ibadah berbeda dengan tata cara beribadah. Hukum ibadah adalah wajib. Sebab, dalil umum menyatakan bahwa manusia dan jin telah diciptakan untuk beribadah.
Ibadah di sini bermakna luas, tidak hanya menyangkut ibadah ritual, akan tetapi termasuk muamalah, jinayah dan lain sebagainya. Sedangkan tata cara beribadah harus selalu terikat dengan syari’at. Tata cara ibadah kepada Allah harus didasarkan pada dalil-dalil syara’. Artinya, tata cara ibadah tidak boleh ditentukan oleh manusia sendiri, akan tetapi tauqifiy (apa adanya sesuai dengan perintah Allah).
Kaedah ushul dari ibadah yang lebih benar adalah “al-ashl fi al-‘ibadah tauqifiy” (asal dari ibadah adalah ditentukan oleh Allah swt). Yang dimaksud oleh kaedah ini adalah tata caranya, bukan pada hukumnya. Maksudnya, seseorang tidak boleh membuat tata cara ibadah sampai Allah swt mengajarkan tata caranya dan memerintahkan kepada kita.
Di sisi yang lain, ibadah bersifat luas, tidak hanya ibadah-ibadah bermakna ibadah ritual belaka; namun juga mencakup masalah mu’amalah dan kehidupan dunia. Atas dasar itu, dalam masalah ibadah kita harus terikat dengan perintah dan larangan Allah swt. Muamalah termasuk bagian dari ibadah, termasuk juga masalah-masalah teknis. Ini membuktikan bahwa, hukum asal dari muamalah dan masalah-masalah teknis (karena termasuk ibadah) adalah sejalan dengan syari’at Allah swt, bukan mubah.
Benar, hukum asal pemilu adalah mubah dan pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan shahabat. Akan tetapi, fakta pemilu pada masa Rasulullah saw berbeda dengan fakta pemilu sekarang ini. Oleh karena itu, menyamakan pemilu di jaman Rasulullah saw dengan pemilu sekarang ini adalah suatu kesalahan yang sangat besar. Apalagi, fakta pemilu sekarang telah dipenuhi dengan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam. Dalam kondisi semacam ini, tentu kita tidak akan menyatakan bahwa pemilu dan parlemen berhukum mubah. Fakta haramnya pemilu terlihat pada realitas berikut ini.
Pertama, undang-undang pemilu sekarang ini tidak lahir dari ‘aqidah Islam akan tetapi lahir dari sistem hukum posistif yang dijiwai paham sekulerisme.
Kedua, pemilu ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang bertugas membuat aturan-aturan yang banyak bertentangan dengan syari’at Islam dan memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Padahal, sistem presidensil bukanlah sistem pemerintahan yang Islamiy. Pemimpin dalam Islam adalah khalifah bukan presiden. Atas dasar itu, mengangkat presiden hukumnya adalah haram. Padahal salah satu aktivitas pemilu adalah mengangkat presiden. Berarti ikut pemilu adalah haram.
Ketiga; Aturan main di Parlemen kita juga sangat jelas, menetapkan keputusan apapun dengan voting. Apakah ini dibenarkan dalam Islam? Dalam hal-hal tertentu suara terbanyak memang bisa dibenarkan dalam Islam; terutama hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis. Rasulullah saw pernah mengambil suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota. Voting hanya berlaku pada kasus-kasus semacam ini.
Dalam kasus yang lain, voting malah diharamkan. Contohnya, perkara-perkara yang telah ditetapkan hukumnya secara pasti. Wajibnya mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Sungguh, bila ada pihak yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, ia telah terjatuh kepada tindak haram.
Keempat, Di lain sisi, parlemen-parlemen kita ini banyak menelorkan aturan-aturan yang bertentangan dengan syari’at Islam. Bahkan, 80% lebih aturan yang berlaku di negeri ini –produk parlemen—adalah aturan kufur yang bertentangan dengan Islam. Walhasil, mencalonkan diri menjadi wakil rakyat, maupun memilih untuk menempatkan orang menjadi wakil rakyat yang bertugas seperti ini, jelas-jelas diharamkan oleh Allah swt.
Fakta-fakta ini adalah bukti bahwa aktivitas parlemen dan pemilu adalah aktivitas yang haram. Atas dasar itu, menerapkan kaedah di atas untuk membenarkan dan membolehkan pemilu sama artinya dengan menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Argumentasi
VI
Mereka juga mengetengahkan kaedah ushul,”ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” [jika tidak bisa meraih semuanya jangan tinggalkan semuanya]. Berkecimpungnya sebagian kaum muslim di parlemen ditujukan untuk mewarnainya dengan warna Islam. Meskipun semua pranata belum Islamiy, namun jangan sampai ditinggalkan semuanya. Dengan kata lain, kaum muslim tidak boleh meninggalkan parlemen meskipun pranatanya belum semua islamiyy. Sebab, sesuatu yang belum dapat diraih semuanya jangan ditinggalkan seluruhnya.
Mereka juga mengetengahkan kaedah ushul,”ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluhu” [jika tidak bisa meraih semuanya jangan tinggalkan semuanya]. Berkecimpungnya sebagian kaum muslim di parlemen ditujukan untuk mewarnainya dengan warna Islam. Meskipun semua pranata belum Islamiy, namun jangan sampai ditinggalkan semuanya. Dengan kata lain, kaum muslim tidak boleh meninggalkan parlemen meskipun pranatanya belum semua islamiyy. Sebab, sesuatu yang belum dapat diraih semuanya jangan ditinggalkan seluruhnya.
Bantahan
Atas Argumentasi VI
Kaedah ini (maa la yudraaku kulluh la yutraaku kulluh : jika tidak bisa meraih semua maka jangan tinggalkan semuanya) berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dengan kaedah ushul,”al-maisuur laa yusqaath bi al-ma’suur” [sesuatu yang mudah tidak bisa dihapuskan dengan sesuatu yang susah].
Maksud dari kaedah ini adalah jika anda tidak bisa mengerjakan secara keseluruhan maka jangan anda tinggalkan seluruhnya. Konteks pembicaraan kaedah ini adalah masalah-masalah ibadah sunnah yang telah ditetapkan kuantitasnya. Contohnya adalah sholah Tahajjud. Sholat Tahajjud lebih utama dikerjakan 12 rakaat. Namun, jika anda tidak bisa mengerjakan semua (12 rakaat), maka janganlah tinggalkan semuanya. Anda bisa melaksanakan sholat Tahajuud 2 rakaat saja. Yang penting jangan sampai ditinggalkan semuanya, alias tidak mengerjakan sholat Tahajjud.
Adapun perkara-perkara wajib yang telah ditetapkan oleh Allah swt tidak boleh ditinggalkan seluruhnya, atau dikerjakan sebagian-sebagian dengan alasan belum bisa dikerjakan semuanya. Contohnya, jika anda belum bisa mengerjakan sholat lima waktu secara sempurna, maka anda bisa mengerjakan dua atau tiga waktu saja. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah akibat menggunakan kaedah ini tidak pada tempatnya. Akibatnya, ada sebagian kaum muslim menyatakan bahwa menegakkan syariat Islam bisa dilakukan dengan cara berangsur-angsur. Padahal, kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah yang harus ditinggalkan.
Penerapan syariat Islam harus dilakukan secara serentak dan dilakukan dengan cara melakukan perubahan secara revolusioner dan mendasar, bukan dengan cara berangsur-angsur.
Kesimpulannya, menggunakan kaedah ini [maa la yudraaku kulluh la yutraaku kulluh : jika tidak bisa meraih semua maka jangan tinggalkan semuanya] untuk mengabsahkan perjuangan penegakkan syariat Islam melalui parlemen tidak ubahnya dengan mencari-cari kaedah untuk membenarkan keinginan hawa nafsunya.
Kaedah ini (maa la yudraaku kulluh la yutraaku kulluh : jika tidak bisa meraih semua maka jangan tinggalkan semuanya) berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan dengan kaedah ushul,”al-maisuur laa yusqaath bi al-ma’suur” [sesuatu yang mudah tidak bisa dihapuskan dengan sesuatu yang susah].
Maksud dari kaedah ini adalah jika anda tidak bisa mengerjakan secara keseluruhan maka jangan anda tinggalkan seluruhnya. Konteks pembicaraan kaedah ini adalah masalah-masalah ibadah sunnah yang telah ditetapkan kuantitasnya. Contohnya adalah sholah Tahajjud. Sholat Tahajjud lebih utama dikerjakan 12 rakaat. Namun, jika anda tidak bisa mengerjakan semua (12 rakaat), maka janganlah tinggalkan semuanya. Anda bisa melaksanakan sholat Tahajuud 2 rakaat saja. Yang penting jangan sampai ditinggalkan semuanya, alias tidak mengerjakan sholat Tahajjud.
Adapun perkara-perkara wajib yang telah ditetapkan oleh Allah swt tidak boleh ditinggalkan seluruhnya, atau dikerjakan sebagian-sebagian dengan alasan belum bisa dikerjakan semuanya. Contohnya, jika anda belum bisa mengerjakan sholat lima waktu secara sempurna, maka anda bisa mengerjakan dua atau tiga waktu saja. Kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah akibat menggunakan kaedah ini tidak pada tempatnya. Akibatnya, ada sebagian kaum muslim menyatakan bahwa menegakkan syariat Islam bisa dilakukan dengan cara berangsur-angsur. Padahal, kesimpulan semacam ini adalah kesimpulan salah yang harus ditinggalkan.
Penerapan syariat Islam harus dilakukan secara serentak dan dilakukan dengan cara melakukan perubahan secara revolusioner dan mendasar, bukan dengan cara berangsur-angsur.
Kesimpulannya, menggunakan kaedah ini [maa la yudraaku kulluh la yutraaku kulluh : jika tidak bisa meraih semua maka jangan tinggalkan semuanya] untuk mengabsahkan perjuangan penegakkan syariat Islam melalui parlemen tidak ubahnya dengan mencari-cari kaedah untuk membenarkan keinginan hawa nafsunya.
Argumentasi
VII
Kaum muslim yang membolehkan pemilu dan berkecimpung dalam parlemen juga berdalil dengan ayat-ayat kesaksian. Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas;
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”
(ath-Thalaq:2)
“Dan hendaklah tegakkan kesaksian itu karena Allah” (ath-Thalaq:2).
“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil”(al-Baqarah:282).
“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya” (al-Baqarah:283)
Kesaksian (memilih) harus diberikan untuk mencegah terpilihnya pemimpin yang tidak amanah dan adil. Sebab, kelemahan dari sistem demokrasi adalah adanya kemungkinan terpilihnya pemimpin dan anggota yang tidak amanah. Namun, kelemahan sistem demokrasi ini tidak boleh menhalangi kaum muslim untuk memberikan kesaksian (memilih). Sebab, jika kaum muslim tidak memberikan kesaksian (memilih) maka akan muncul madlarat yang sangat besar, yakni terpilihnya pemimpin dan anggota parlemen yang tidak amanah. Padahal, madlarat yang besar harus dihindari dan dihilangkan. Walhasil, pemilu diwajibkan bagi mereka yang bisa memberikan kesaksian (memilih) dengan benar; akan tetapi justru haram bagi mereka yang tidak bisa memberikan kesaksian secara benar; agar tidak terjadi madlarat yang jauh lebih besar. Sedangkan orang yang bisa memberikan kesaksian dengan benar namun tidak memberikan kesaksian (memilih) maka dirinya telah terjatuh ke dalam keharaman.
Kaum muslim yang membolehkan pemilu dan berkecimpung dalam parlemen juga berdalil dengan ayat-ayat kesaksian. Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas;
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”
(ath-Thalaq:2)
“Dan hendaklah tegakkan kesaksian itu karena Allah” (ath-Thalaq:2).
“Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil”(al-Baqarah:282).
“Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya” (al-Baqarah:283)
Kesaksian (memilih) harus diberikan untuk mencegah terpilihnya pemimpin yang tidak amanah dan adil. Sebab, kelemahan dari sistem demokrasi adalah adanya kemungkinan terpilihnya pemimpin dan anggota yang tidak amanah. Namun, kelemahan sistem demokrasi ini tidak boleh menhalangi kaum muslim untuk memberikan kesaksian (memilih). Sebab, jika kaum muslim tidak memberikan kesaksian (memilih) maka akan muncul madlarat yang sangat besar, yakni terpilihnya pemimpin dan anggota parlemen yang tidak amanah. Padahal, madlarat yang besar harus dihindari dan dihilangkan. Walhasil, pemilu diwajibkan bagi mereka yang bisa memberikan kesaksian (memilih) dengan benar; akan tetapi justru haram bagi mereka yang tidak bisa memberikan kesaksian secara benar; agar tidak terjadi madlarat yang jauh lebih besar. Sedangkan orang yang bisa memberikan kesaksian dengan benar namun tidak memberikan kesaksian (memilih) maka dirinya telah terjatuh ke dalam keharaman.
Bantahan
Atas Argumentasi VII
Ayat Kesaksian
Ayat-ayat yang berbicara tentang kesaksian, kebanyakan hanya berhubungan dengan masalah-masalah yang membutuhkan saksi untuk memperkuat dakwaan di hadapan sidang pengadilan.
Yang dimaksud kesaksian pada ayat di atas, adalah kesaksian dalam masalah rujuk dan thalak. Ayat-ayat tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan masalah kesaksian (pemilihan) dalam pemilu.
Saksi adalah orang yang menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri dan menyakinkan. Kemudian ia menyampaikan apa yang ia saksikan itu di hadapan qadliy untuk membuktikan suatu dakwaan, atau untuk memperlemah suatu dakwaan. Oleh karena itu, menggunakan ayat ini ath-Thalaqa:2 untuk dalil pemilu, jelas-jelas telah menyimpangkan makna ayat itu, bahkan mengkaitkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebab, kasusnya berbeda dan tidak berhubungan sama sekali.
Adapun pernyataan yang menyatakan bahwa seorang mukmin wajib memberikan kesaksian (memilih) untuk menghindarkan diri dari madlarat, maka bantahan atas pernyataan ini telah diterangkan pada point-point sebelumnya. Sebab, bahaya parlemen itu terletak pada sistemnya, bukan pada orang-orang yang menjalankan sistem tersebut.
Pada penjelasan sebelumnya telah disinggung tentang larangan berkecimpung dalam parlemen dan pemilu. Oleh karena itu, memasukkan atau memilih seorang muslim untuk bertarung di parlemen –dengan aturan main yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam—sama artinya telah menjerumuskan orang tersebut ke dalam tindak keharaman.
Apakah kita rela mengantarkan seseorang muslim menjadi seorang presiden yang memerintah rakyat atas dasar sistem pemerintahan republik yang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam? Bukankah presiden dan sistem republik adalah sistem yang telah diharamkan Allah swt? Lalu, atas dasar apa kita mewajibkan kaum muslim –yang bisa bersaksi (memilih)—untuk membuat kesaksian (memilih) seseorang yang jelas-jelas akan memimpin kaum muslim dengan sistem kufur?
Akan tetapi, apakah keadaan yang tidak normal semacam ini menghalangi kita untuk melawan kelaliman dan kedzaliman? Dalam arti, apakah kita harus meninggalkan dakwah Islam karena berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah perbuatan haram?
Jawabnya, kita harus tetap melawan kelaliman dan makar orang kafir. Akan tetapi, dalam melawan orang kafir kita tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Masuk parlemen adalah cara-cara bathil yang tidak mungkin bisa ditolerans oleh orang-orang yang bersih qalbunya (lihat penjelasan di atas).
Pada dasarnya, ketika kaum muslim ikut pemilu justru ia telah dikalahkan oleh orang kafir. Sebab, sistem pemilu sekarang ini dirancang oleh orang-orang kafir bahkan didanai besar-besaran oleh orang kafir. Orang awam saja bisa menilai, tidak mungkin orang kafir memiliki kepeduliaan yang sebesar ini kalo mereka tidak memiliki suatu tendensi. Masuk parlemen dan ikut pemilu sudah merupakan bentuk kekalahan kaum muslimn kepada orang kafir.
Tentunya kita tidak rela dikuasai oleh orang kafir. Kita wajib melawan orang-orang kafir dengan segenap tenaga kita. Akan tetapi, cara kita melawan mereka tidak boleh menghalalkan segala cara. Bila kita hendak memberantas preman, jangan memakai cara preman. Bila kita memakai cara preman, maka kita tidak ada ubahnya dengan preman.
FIS telah menang dalam pemilu, dan berhasil mengumpulkan suara 80%, tapi gagal. Partai Refah juga gagal membentuk pemerintahan Islamiy. Bahkan sejarah telah menunjukkan bahwa kebanyakan perubahan kekuasaan dilakukan lewat ekstra parlemen, bukan intra parlemen. Tentunya anda masih ingat, ketika pak Harto dilengserkan oleh mahasiswa. Itu khan bukan perjuangan intra parlemen. Revolusi negeri ini, revolusi Merah, revolusi Iran, Amerika, Perancis, Inggris, dan lain-lain; semuanya adalah perjuangan ekstra parlemen.
Terakhir, dalam UU tahun 1999 tentang Perpolitikan menyatakan bahwa partai politik tidak boleh mengubah negara berdasarkan asas partai. Walhasil, jika partai yang berasaskan Islam hendak merubah negara ini menjadi negara Islam, ia telah terjebak dan akan dikenai pasal ini. Ia bisa dihancurkan dengan mudah karena dianggap tidak konstitusional. Oleh karena itu, nonsense anda sekalian melibatkan diri dalam pemilu sekarang ini. Sebab, partai-partai itu telah merelakan dirinya untuk mengikuti undang-undang yang tidak memungkinkan mereka untuk mengubah sistem yang berlaku di negeri ini. Padahal umat memilih mereka agar mereka mengubah sistem kenegaraan sekarang ini, namun partai itu tidak mungkin mengubah sistem kenegaraan sekarang ini.
Selain itu, perubahan hakiki adalah perubahan sistem bukan person-personnya.
Lantas, apakah dengan begitu kita tidak akan berjuang? Apakah kita mesti menghalalkan segala cara untuk menegakkan kalimat Allah? Jawabnya, kita tetap berjuang menerapkan syariah sesuai dengan manhaj (jalan) yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Bukan mengikuti jalan-jalan yang tidak diridloi Allah swt.
Walhasil, mengajak orang lain mengikuti pemilu atau mencalonkan diri menduduki dewan legislative model sekarang jelas-jelas sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt.
Terakhir kali, perhatikan ayat ini:
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang dzalim. [Yang semua itu berakibat] kamu akan disentuh api neraka, padahal tidak ada penolong bagi kamu, selain Allah; kemudian kalian tidak ditolong.” [11:113].
Dakwah ini akan dimenangkan dengan pertolongan Allah swt. Pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita bisa ditolong Allah, jika kita masih condong dengan orang-orang dzalim?
Partai-partai Islam yang berjuang via parlemen selalu dipaksa untuk bermusyawarah, berkompromi, menetapkan aturan-aturan, serta membicarakan urusan-urusan umat, dengan kaum sekuleris, atau dengan kaum nasionalis, atau dengan kaum sosialis, atau dengan non muslim (orang dzalim dan kafir) yang tidak pernah memandang persoalan dari sudut pandang Islam. Lalu, apakah partai-partai Islam yang menempuh cara seperti itu akan mendapatkan pertolongan Allah, padahal Allah tidak akan menolong orang yang condong kepada kedzaliman?
Ayat Kesaksian
Ayat-ayat yang berbicara tentang kesaksian, kebanyakan hanya berhubungan dengan masalah-masalah yang membutuhkan saksi untuk memperkuat dakwaan di hadapan sidang pengadilan.
Yang dimaksud kesaksian pada ayat di atas, adalah kesaksian dalam masalah rujuk dan thalak. Ayat-ayat tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan masalah kesaksian (pemilihan) dalam pemilu.
Saksi adalah orang yang menyaksikan suatu peristiwa dengan mata kepala sendiri dan menyakinkan. Kemudian ia menyampaikan apa yang ia saksikan itu di hadapan qadliy untuk membuktikan suatu dakwaan, atau untuk memperlemah suatu dakwaan. Oleh karena itu, menggunakan ayat ini ath-Thalaqa:2 untuk dalil pemilu, jelas-jelas telah menyimpangkan makna ayat itu, bahkan mengkaitkan sesuatu tidak pada tempatnya. Sebab, kasusnya berbeda dan tidak berhubungan sama sekali.
Adapun pernyataan yang menyatakan bahwa seorang mukmin wajib memberikan kesaksian (memilih) untuk menghindarkan diri dari madlarat, maka bantahan atas pernyataan ini telah diterangkan pada point-point sebelumnya. Sebab, bahaya parlemen itu terletak pada sistemnya, bukan pada orang-orang yang menjalankan sistem tersebut.
Pada penjelasan sebelumnya telah disinggung tentang larangan berkecimpung dalam parlemen dan pemilu. Oleh karena itu, memasukkan atau memilih seorang muslim untuk bertarung di parlemen –dengan aturan main yang jelas-jelas bertentangan dengan Islam—sama artinya telah menjerumuskan orang tersebut ke dalam tindak keharaman.
Apakah kita rela mengantarkan seseorang muslim menjadi seorang presiden yang memerintah rakyat atas dasar sistem pemerintahan republik yang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam? Bukankah presiden dan sistem republik adalah sistem yang telah diharamkan Allah swt? Lalu, atas dasar apa kita mewajibkan kaum muslim –yang bisa bersaksi (memilih)—untuk membuat kesaksian (memilih) seseorang yang jelas-jelas akan memimpin kaum muslim dengan sistem kufur?
Akan tetapi, apakah keadaan yang tidak normal semacam ini menghalangi kita untuk melawan kelaliman dan kedzaliman? Dalam arti, apakah kita harus meninggalkan dakwah Islam karena berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah perbuatan haram?
Jawabnya, kita harus tetap melawan kelaliman dan makar orang kafir. Akan tetapi, dalam melawan orang kafir kita tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan syara’. Masuk parlemen adalah cara-cara bathil yang tidak mungkin bisa ditolerans oleh orang-orang yang bersih qalbunya (lihat penjelasan di atas).
Pada dasarnya, ketika kaum muslim ikut pemilu justru ia telah dikalahkan oleh orang kafir. Sebab, sistem pemilu sekarang ini dirancang oleh orang-orang kafir bahkan didanai besar-besaran oleh orang kafir. Orang awam saja bisa menilai, tidak mungkin orang kafir memiliki kepeduliaan yang sebesar ini kalo mereka tidak memiliki suatu tendensi. Masuk parlemen dan ikut pemilu sudah merupakan bentuk kekalahan kaum muslimn kepada orang kafir.
Tentunya kita tidak rela dikuasai oleh orang kafir. Kita wajib melawan orang-orang kafir dengan segenap tenaga kita. Akan tetapi, cara kita melawan mereka tidak boleh menghalalkan segala cara. Bila kita hendak memberantas preman, jangan memakai cara preman. Bila kita memakai cara preman, maka kita tidak ada ubahnya dengan preman.
FIS telah menang dalam pemilu, dan berhasil mengumpulkan suara 80%, tapi gagal. Partai Refah juga gagal membentuk pemerintahan Islamiy. Bahkan sejarah telah menunjukkan bahwa kebanyakan perubahan kekuasaan dilakukan lewat ekstra parlemen, bukan intra parlemen. Tentunya anda masih ingat, ketika pak Harto dilengserkan oleh mahasiswa. Itu khan bukan perjuangan intra parlemen. Revolusi negeri ini, revolusi Merah, revolusi Iran, Amerika, Perancis, Inggris, dan lain-lain; semuanya adalah perjuangan ekstra parlemen.
Terakhir, dalam UU tahun 1999 tentang Perpolitikan menyatakan bahwa partai politik tidak boleh mengubah negara berdasarkan asas partai. Walhasil, jika partai yang berasaskan Islam hendak merubah negara ini menjadi negara Islam, ia telah terjebak dan akan dikenai pasal ini. Ia bisa dihancurkan dengan mudah karena dianggap tidak konstitusional. Oleh karena itu, nonsense anda sekalian melibatkan diri dalam pemilu sekarang ini. Sebab, partai-partai itu telah merelakan dirinya untuk mengikuti undang-undang yang tidak memungkinkan mereka untuk mengubah sistem yang berlaku di negeri ini. Padahal umat memilih mereka agar mereka mengubah sistem kenegaraan sekarang ini, namun partai itu tidak mungkin mengubah sistem kenegaraan sekarang ini.
Selain itu, perubahan hakiki adalah perubahan sistem bukan person-personnya.
Lantas, apakah dengan begitu kita tidak akan berjuang? Apakah kita mesti menghalalkan segala cara untuk menegakkan kalimat Allah? Jawabnya, kita tetap berjuang menerapkan syariah sesuai dengan manhaj (jalan) yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Bukan mengikuti jalan-jalan yang tidak diridloi Allah swt.
Walhasil, mengajak orang lain mengikuti pemilu atau mencalonkan diri menduduki dewan legislative model sekarang jelas-jelas sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt.
Terakhir kali, perhatikan ayat ini:
“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang yang dzalim. [Yang semua itu berakibat] kamu akan disentuh api neraka, padahal tidak ada penolong bagi kamu, selain Allah; kemudian kalian tidak ditolong.” [11:113].
Dakwah ini akan dimenangkan dengan pertolongan Allah swt. Pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita bisa ditolong Allah, jika kita masih condong dengan orang-orang dzalim?
Partai-partai Islam yang berjuang via parlemen selalu dipaksa untuk bermusyawarah, berkompromi, menetapkan aturan-aturan, serta membicarakan urusan-urusan umat, dengan kaum sekuleris, atau dengan kaum nasionalis, atau dengan kaum sosialis, atau dengan non muslim (orang dzalim dan kafir) yang tidak pernah memandang persoalan dari sudut pandang Islam. Lalu, apakah partai-partai Islam yang menempuh cara seperti itu akan mendapatkan pertolongan Allah, padahal Allah tidak akan menolong orang yang condong kepada kedzaliman?
Argumentasi
VIII
Memilih pemimpin adil merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Padahal dalam konteks sekarang, pemilu adalah jalan untuk memilih dan lahirnya pemimpin yang adil. Atas dasar itu, berdasarkan kaedah “ma laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib”, mengikuti pemilu hukumnya wajib, dan tidak mengikuti pemilu hukumnya haram.
Memilih pemimpin adil merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Padahal dalam konteks sekarang, pemilu adalah jalan untuk memilih dan lahirnya pemimpin yang adil. Atas dasar itu, berdasarkan kaedah “ma laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib”, mengikuti pemilu hukumnya wajib, dan tidak mengikuti pemilu hukumnya haram.
Bantahan
Atas Argumentasi VIII
Benar, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah adil. Seorang muslim tidak diperbolehkan memilih pemimpin yang tidak adil. Namun demikian, pemilu bukanlah satu-satunya jalan untuk melahirkan pemimpin yang adil. Selain itu, tidak ada satupun jaminan yang bisa memastikan bahwa dengan pemilu akan terlahir pemimpin yang adil. Pemilu hanyalah salah satu cara untuk memilih pemimpin, bukan satu-satunya cara. Bila pemilu bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin yang adil, dan tidak ada jaminan kepastian akan lahirnya seorang pemimpin yang adil, maka penggunaan kaedah “ma laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib”, merupakan upaya untuk membodohi umat yang tidak tahu menahu tentang kaedah ini.
Pemilu dewasa ini ditujukan untuk mengangkat seorang presiden, bukan untuk mengangkat seorang khalifah. Fakta ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pemilu sekarang ini tidak akan mungkin akan melahirkan pemimpin yang adil, selama mekanisme pemilu ditujukan untuk memilih presiden. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam. Kepala negara di dalam Islam adalah khalifah. Dengan kata lain, pemilu dewasa ini pasti akan melahirkan seorang presiden. Padahal, presiden adalah bentuk kepala negara yang bertentangan dengan syariat Islam. Bagaimana bisa dikatakan akan terlahir pemimpin adil, jika yang terlahir adalah model kepemimpinan yang bertentangan dengan syariat Islam. Bukankah definisi adil adalah dlidd al-dzulm (lawan kedzaliman, atau bertentangan dengan syariat Islam). Seseorang baru dikatakan adil, jika ia terkenal tidak pernah melanggar aturan-aturan Allah swt. Seorang pemimpin tidak bisa dikatakan adil, jika mulai tahap pencalonannya saja sudah menghalalkan segala cara. Dengan demikian, lahirnya kepemimpinan yang bertentangan dengan syariat Islam adalah bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Sebab, bentuk kepemimpinannya bertentangan dengan syariat Islam. Apalagi, presiden yang terpilih nanti bertugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang lahir dari spirit sekulerisme.
Walhasil, argumentasi ke VIII ini telah gugur secara ilmiah dan bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Benar, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah adil. Seorang muslim tidak diperbolehkan memilih pemimpin yang tidak adil. Namun demikian, pemilu bukanlah satu-satunya jalan untuk melahirkan pemimpin yang adil. Selain itu, tidak ada satupun jaminan yang bisa memastikan bahwa dengan pemilu akan terlahir pemimpin yang adil. Pemilu hanyalah salah satu cara untuk memilih pemimpin, bukan satu-satunya cara. Bila pemilu bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin yang adil, dan tidak ada jaminan kepastian akan lahirnya seorang pemimpin yang adil, maka penggunaan kaedah “ma laa yatimmu al-waajib illa bihi fahuwa waajib”, merupakan upaya untuk membodohi umat yang tidak tahu menahu tentang kaedah ini.
Pemilu dewasa ini ditujukan untuk mengangkat seorang presiden, bukan untuk mengangkat seorang khalifah. Fakta ini menunjukkan dengan jelas, bahwa pemilu sekarang ini tidak akan mungkin akan melahirkan pemimpin yang adil, selama mekanisme pemilu ditujukan untuk memilih presiden. Sebab, presiden bukanlah kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam. Kepala negara di dalam Islam adalah khalifah. Dengan kata lain, pemilu dewasa ini pasti akan melahirkan seorang presiden. Padahal, presiden adalah bentuk kepala negara yang bertentangan dengan syariat Islam. Bagaimana bisa dikatakan akan terlahir pemimpin adil, jika yang terlahir adalah model kepemimpinan yang bertentangan dengan syariat Islam. Bukankah definisi adil adalah dlidd al-dzulm (lawan kedzaliman, atau bertentangan dengan syariat Islam). Seseorang baru dikatakan adil, jika ia terkenal tidak pernah melanggar aturan-aturan Allah swt. Seorang pemimpin tidak bisa dikatakan adil, jika mulai tahap pencalonannya saja sudah menghalalkan segala cara. Dengan demikian, lahirnya kepemimpinan yang bertentangan dengan syariat Islam adalah bentuk kedzaliman dan ketidakadilan. Sebab, bentuk kepemimpinannya bertentangan dengan syariat Islam. Apalagi, presiden yang terpilih nanti bertugas melaksanakan keputusan-keputusan parlemen yang lahir dari spirit sekulerisme.
Walhasil, argumentasi ke VIII ini telah gugur secara ilmiah dan bertentangan dengan fakta sebenarnya.
Penutup
Demikianlah, anda telah kami jelaskan dengan argumentasi yang lugas, tegas, dan gamblang. Siapapun yang mengkaji secara mendalam masalah ini, pasti akan berkesimpulan bahwa argumentasi yang disodorkan oleh para penganjur pemilu dan parlemen demokratik, adalah argumentasi lemah yang harus ditinggalkan demi kesucian ‘aqidah, dan obyektivitas ilmiah.
Terakhir, semoga para pembaca tidak menganggap tulisan ini sebagai bentuk proklamasi permusuhan dengan sesama muslim yang lain; atau dianggap sebagai upaya untuk memecah belah persatuan kaum muslim. Walaupun, disuguhkan dengan diksi-diksi yang tegas, sungguh tidak ada niat sedikitpun untuk memancing perpecahan di antara kaum muslim. Akan tetapi, kami benar-benar ingin agar kaum muslim bersikap hati-hati dalam menentukan sikap dan pendapat. Pengadilan kita adalah hukum syara’, bukan kemashlahatan dan hawa nafsu. Sungguh, kemulyaan dan keagungan kita hanya bisa diraih dengan tetap konsisten dengan al-Quran dan sunnah. Perhatikanlah sabda Rasulullah saw,”
“Sebenar-benar pembicaraan adalah Kitabullah (al-Quran), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuknya Mohammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan; dan setiap kesesatan akan ditempatkan di dalam neraka.”[HR. Bukhari dan Muslim]
DEMI KEMULYAAN
& TEGAKNYA ISLAM, DEMI TANGGUNG JAWAB KITA DI HADAPAN ALLAH......
BAGAIMANA
PENDAPAT KITA ? IKUT PEMILU ? ATAU LEBIH BAIK GOLPUT ?
SEMOGA ALLAH
SENANTIASA MEMBIMBING HATI KITA,, UNTUK MENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TERBAIK,, DAN
MENDAPATKAN TAUFIK DAN HIDAYAH-NYA.
SEMPURNAKAN
KETAATAN, SESUAI ALQUR'AN DAN SUNNAH,
MANTAPKAN TAUHID KITA KEPADA ALLAH,, INSYAALLAH SELAMAT DUNIA AKHIRAT.
MANTAPKAN TAUHID KITA KEPADA ALLAH,, INSYAALLAH SELAMAT DUNIA AKHIRAT.
WALLAHUL
MUSTA'AN.
Setelah ini, apakah kita hendak mencari petunjuk
dan arahan selain petunjuk Allah dan RasulNya?
[dari berbagai sumber di internet, dan makalah
seminar]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar