تَحَقَّقْ بِأَوْصَافِكَ يَمُدُّكَ بِأَوْصَافِهِ . تَحَقَّقْ بِذُلِّكَ يَمُدُّكَ بِعِزِّهِ . تَحَقَّقْ بِعَجْزِكَ يَمُدُّكَ بِقُدْرَتِهِ . تَحَقَّقْ بِضُعْفِكَ يَمُدُّكَ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
Nyatakan dengan sifatmu maka Allah akan menolongmu dengan sifat-Nya. Nyatakan dengan hinamu maka Allah akan menolongmmu dengan kemuliaan-Nya. Nyatakan dengan lemahmu maka Allah akan menolongmu kemampuan-Nya. Nyatakan dengan keterbatassanmu maka Allah akan menolongmu dengan upaya-Nya dan kekuatan-Nya.
Pernyataan asy-Syekh Ibnu Atho’illah ra. diatas adalah konsep untuk menemukan keberhasilan hidup bagi seorang hamba yang beriman. Kunci rahasia untuk membukan pintu perbendaharaan ghaib yang tersedia bagi setiap manusia. Password untuk mengaplikasikan program kehidupan yang bertebaran di dalam amal semesta. Jika orang beriman mampu menggunakannya dengan benar maka pintu ijabah dari Tuhannya akan segera terbentang di depannya dengan penuh kemudahan.
Merupakan interaksi antara sifat dengan sifat, meskipun itu berangkat dari keadaan yang berbeda, yang satu merangkak dari bawah yang satunya diturunkan dari atas, yang satu memancar dari dimensi hadits yang satunya didatangkan dari dimensi qodim, apabila seorang hamba mampu membangun dan memancarkan isi hatinya dengan sungguh-sungguh kepada Tuhannya maka mereka akan mendapi sifat Tuhannya dengan penuh kemudahan di depan mata. Sifat Allah itu berbentuk realita sebagai jawaban dari munajat hati yang mendasari setiap pengabdian secara lahir yang dilaksanakan seorang hamba kepada Tuhannya. Allah telah mengisyaratkan keadaan tersebut dengan firman-Nya:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِي أُوفِ بِعَهْدِكُمْ
“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu(QS.Al-Baqoroh(2);40)
“Dan penuhilah janjimu kepada-Ku niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu(QS.Al-Baqoroh(2);40)
Dimana saja, dari mana saja, dalam keadaan apa saja, manusia akan menemui sifat dan takdir Tuhannya sebagaimana gambaran isi hatinya saat menghadap kepada-Nya: “Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.(QS.Al-Baqoroh(2);115).
Dimulai dengan pelaksanaan amal ibadah, amal ibadah itu dilaksanakan oleh seorang salik dengan bersungguh-sungguh (mujahadah) di jalan-Nya sehingga amal ibadah tersebut menjadi karakter yang menjiwai hidup. Jika yang demikian itu diniatkan untuk melaksanakan pengabdian hakiki kepada Allah, Rabbul Alamiin, maka karakter alam akan disuaikan untuk dirinya. Karakter alam itu adalah perwujudan dari sifat dan takdir-Nya. Itulah buah ibadah, apabila seorang hamba mampu merubah karakternya maka karakter alam akan disesuaikan untuk kerakternya. Ini adalah konsep Ilahiyah, sebagai sunnah yang tidak ada perubahan untuk selamanya, apabila seorang hamba mampu melaksanakannya dengan sempurna, maka pintu ijabah akan dimudahkan terbuka dengan sempurna pula baginya dengan sempurna pula.
Mujahadah dalam arti meredam kemauan imosional dan rasional supaya intensitas spiritual menjadi kuat dan cemerlang. Mujahadah tersebut bisa dilaksanakan dengan amaliyah secara vertical maupun horizontal. Oleh sebab itu, mujahadah yang paling utama adalah bersyukur disaat sedang kurang dan memaafkan kesalahan orang.
Seorang hamba harus memulia dari dirinya sendiri. Membangun amal ibadah untuk menyepuh ruhaninya. Melebur kotoran manusiawi supaya jiwanya kembali bersih dan suci sebagaimana fithrahnya. Itu dilakukan bukan untuk menjadikan dirinya supaya menjadi orang yang sakti mandraguna, bukan supaya ia mempunyai linuwih sehingga ia mampu menolong kesusahan manusia, bukan untuk supaya dirinya menjadi orang yang mulia dan kaya raya sehingga dimuliakan manusia, tetapi menyiapkan hati untuk menampung anugerah yang sudah disediakan baginya sejak zaman azali.
Asy-syekh menunjukkan konsepnya, apabila orang beriman ingin mendapatkan kemuliaan dari-Nya, maka terlebih dahulu mereka harus mampu menyatakan kehinaan di hadapan-Nya. Apabila ingin mendapatkan kemampuan-Nya, maka mereka harus mampu menyatakan sifat lemahnya dihadapan-Nya. Apabila mereka mengharapkan upaya-Nya dan kekuatan-Nya, maka mereka harus mampu menyatakan keterbatasan diri di hadapan-Nya.
Untuk mencapai hal tersebut, seorang hamba harus berjalan di jalan-jalan Allah yang sudah disiapkan baginya. Mereka harus melaksanakan thoriqoh yang terbimbing oleh guru-guru ahlinya. Perjalanan itu bukan untuk menuju suatu tempat supaya di tempat itu mereka mendapatkan kekuatan dan kemuliaan, tetapi mengkondisikan isi dada supaya di dalamnya dapat ditempati kekuatan dan kemuliaan yang didatangkan dari perbendaharaan ghaib yang ada di sisi Tuhannya.
Sesuai kebutuhan yang dibutuhkan, apakah itu kemuliaan atau kemampuan, maka pengkondisian hati itu harus disesuaikan dengan kebutuhan tersebut. Merasa hina untuk menerima kemuliaan, merasa lemah untuk mendapatkan kekuatan dan merasa terbatas untuk mendapatkan kemampuan. Adapun amal ibadah yang dilakukan ibarat kendaraan, sedangkan sifat-sifat tersebut ibarat penumpang. Dengan sifat-sifat tersebut seorang hamba akan mendapatkan apa-apa yang diharapkan dalam perjalanan.
Apabila orang tidak berjalan di jalan yang sudah disiapkan. Tidak mengamalkan ilmu pengetahuan yang sudah disiapkan untuk menempa jati dirinya supaya siap untuk mendapatkan pemahaman dari Tuhannya. Mereka bahkan hanya berpangku tangan tanpa berbuat perubahan. Dalam keadaan demikian, apabila mereka mempunyai harapan untuk mendapatkan perubahan, maka harapan itu selamanya pasti akan tinggal harapan. Sampai kapanpun mereka akan menemukan dirinya seperti itu itu saja, tetap dalam keadaan yang serupa tanpa dapat menemukan perubahan untuk selama-lamanya.
Hal itu disebabkan, oleh karena mereka tidak mau berbuat perubahan, maka perubahan yang diharapkan itu akan menjadi angan-angan. Harapan itu akan menjadi seperti awan yang segera hilang disapu angin kencang bersama hilangnya usia hidup yang dimakan zaman.
Ilmu pengetahuan yang dimiliki, sebelum ilmu itu dipergunakan untuk menerangi hati dan jalan hidup orang lain, terlebih dahulu harus dapat dipergunakan untuk mengilmuni diri sendiri, menerangi prilaku hidup untuk membentuk karakternya dengan pelaksanaan mujahadah di jalan Allah, sesuai konsep yang ditawarkan Asy-Syekh tersebut di atas, hasilnya, seorang hamba akan menjumpai sifat Tuhannya sebagai jawaban dari-Nya. Itulah yang dimaksud interaksi dzikir dengan dzikir.
Apabila seorang hamba mampu melaksanakan dzikir tersebut secara sempurna, baik dzikir lahir maupun dzikir batin, berarti pertanda ia telah mencintai Tuhannya. Apabila ia mampu mengenali dzikir balik tersebut, artinya bahwa realita yang datang itu sejatinya adalah sinyal dan rambu-rambu yang didatangkan baginya untuk dapat ditindaklanjuti dengan benar, maka berarti pertanda ia telah dicintai oleh Tuhannya. Tanda-tanda berikutnya, apabila seorang hamba telah mampu mensikapi segala permasalahan hidup yang sedang dihadapi, baik yang susah maupun yang senang dengan bersyukur kepada-Nya, maka itulah pertanda yang bahwa dirinya adalah seorang hamba ynag dicintai Tuhannya. Allah telah meyatakan hal tersebut dengan firman-Nya:
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِKarena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (ni`mat) -Ku.(QS.Al-Baqoroh(2);152). WALLAHU A'LAM BISH SHOWAB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar