Menjelang pesta demokrasi alias pemilu,
begitu banyak persiapan yang dilakukan para pengusungnya, dari kota
sampai ke desa; berjajar partai-partai yang akan turun ke kancah
politik. Mulai dari partai senior sampai partai junior, bahkan partai yang menisbahkan dirinya kepada Islam pun tidak mau ketinggalan mengambil posisi dalam memeriahkan pesta demokrasi.
Tak ada satu jalan pun kecuali telah dipenuhi dengan baleho-baleho para
caleg, spanduk-spanduk partai, stiker, dan atribut lainnya. Beribu-ribu
ungkapan dan janji yang tertulis hampir di setiap sudut kota. Semuanya
terkadang buat bingung; yang mana harus dipilih?
Adanya pesta raksasa semodel ini
terkadang membuat orang lupa segalanya sehingga ia tak pernah mau tahu
apakah menerapkan demokrasi beserta tetek bengeknya dibolehkan dalam
agama kita??! Selain itu, banyak diantara manusia yang masih salah
paham, sehingga menyandarkan demokrasi kepada Islam atau memasukkannya
ke dalam Islam dengan menamakannya sebagai siyasah syar’iyyah (politik Islam). Padahal Islam sangat bertentangan dengan demokrasi. Jadi, tak mungkin disebut dengan siyasah syar’iyyah
!? Orang yang beranggapan seperti itu hanya berbicara tanpa dalil,
sampai setan pun tidak akan bisa membantunya untuk mendatangkan dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab suatu perkara disebut “syar’i” bila bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber
hukum tertinggi bagi manusia. Adapun demokrasi, maka ia tidak bersumber
dari keduanya. Bahkan demokrasi itu bersumber dari pikiran dan ide
manusia yang tak lepas dari segala sifat kelemahan yang dimilikinya.
Demokrasi adalah ide lancang yang dicanangkan pertama kali oleh orang
kafir sampai hari ini demi membabat dan menyingkirkan syari’at Allah
yang sempurna. [lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 16 & 19)]
Kedudukan DEMOKRASI ini akan semakin
jelas, jika kita mengetahui maknanya. Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani dan tersusun dari dua kata. Kata pertama adalah “Demo” yang bermakna rakyat atau penduduk. Kata yang kedua adalah “Krasi” yang berasal dari kata “Kratia” yang berarti aturan hukum dan kekuasaan. Dua kata Yunani ini, kalau digabungkan, menjadi “Demokrasi” yang berarti pemerintahan dari rakyat.
Jadi, DEMOKRASI adalah hukum
dari rakyat untuk rakyat sendiri, dalam artian suara rakyat adalah hukum
dan kekuasaan tertinggi. Dalam prakteknya, demokrasi tergambar dalam
suara terbanyak. Keputusan apapun yang dipilih oleh suara terbanyak,
maka itulah yang harus diambil dan diterapkan. [Lihat Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyf Mafasid wa Syubuhat Al-Intikhob (hal.16) karya Syaikh Abu Nashr Al-Imam]
Subhanallah , teori semacam ini
amat bertentangan dengan Al-Quran, dan As-Sunnah. Karena di dalam
syariat islam, hukum hanya milik Allah. Segala keputusan manusia harus
kembali kepada Allah (Al-Qur’an), dan Rasul-Nya (Sunnah).
“Hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”. (QS. Yusuf :40)
Allah berfirman kepada Rasul-Nya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka dengan sesuatu yang diturunkan Allah”. (QS. Al-Maidah :49)
Allah menjelaskan bahwa hukum itu
bukanlah menjadi milik rakyat dan para anggota parlemen, tapi milik
Allah saja. Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk memutuskan perkara
diantara manusia dengan wahyu yang Allah turunkan berupa Al-Qur’an dan
Sunnah.
Syaikh Muhammad Aman Al-Jamiy-rahimahullah- berkata, “Tidak
ragu lagi bahwa sistem demokrasi adalah sistem mulhid (atheis)
jahiliyyah, tak cocok bagi kita di negeri ini (KSA), bahkan tak cocok
bagi semua negeri-negeri Islam yang beriman dengan aturan Islam…Jika
rakyat yang menetapkan aturan hidupnya; yang menetapkan segala
keputusan, dan melaksanakan keputusan sang hakim yang menganut paham
demokrasi. Jika demikian halnya, maka apa lagi yang tersisa bagi Allah
Robbul alamin Yang Menciptakan para hamba, dan mengutus rasul-rasul-Nya
kepada mereka serta menurunkan kepada mereka kitab-kitab-Nya yang
mengandung aturan yang rinci lagi adil, tak ada kecurangan, dan
kekurangan padanya. Jadi, Allah-lah saja Yang Menetapkan syari’at. Dia
telah menetapkan syari’at yang adil”. [Lihat Haqiqoh Ad-Dimuqratiyyah (hal. 14-15) karya Al-Jamiy]
Selain itu, manusia yang merupakan
makhluk lemah tidak mungkin akan menyamai syari’at dan petunjuk yang
Allah tuangkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun seluruh manusia
bersatu merancang keputusan, perundang-undangan, dan aturan hidup, maka
mereka tak mungkin akan mampu menandinginya. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan
tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Maka
jika kamu tidak dapat membuat(nya) – dan pasti kamu tidak akan dapat
membuat(nya)-, maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir”. (QS. Al-Baqoroh: 23-24).
Al-Hafizh Ibnu Katsir Asy-Syafi’iy-rahimahullah- berkata, “Ini
juga merupakan mu’jizat yang lain, yakni Allah mengabarkan berita yang
pasti, tanpa takut, dan khawatir bahwa Al-Qur’an ini tidaklah mungkin
akan dihadapi (dilawan) dengan sesuatu yang semisalnya selama-lamanya.
Demikianlah realitanya; Al-Qur’an tak pernah bisa dihadapi dari dulu
sampai zaman kita sekarang, dan memang tak mungkin!! Bagaimana mungkin
hal itu terjadi bagi seseorang, sedang Al-Qur’an adalah firman Allah
Sang Maha Pencipta segala sesuatu; bagaimana bisa firman (ucapan) Sang
Maha Pencipta diserupai oleh ucapan makhluk?!!” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/91)]
Jadi, petunjuk terbaik, dan paling
sempurna; hukum yang paling lengkap dan universal serta cocok di setiap
tempat dan zaman adalah Al-Qur’an yang berisi segala kebaikan dunia dan
akhirat.
Para Pembaca yang budiman, DEMOKRASI yang merupakan produk buatan manusia yang banyak memiliki kekurangan, dan kebatilan. Diantara kebatilan-kebatilan demokrasi:
- Menentukan Hukum Berdasarkan Suara Terbanyak
Banyaknya manusia yang memilih dan
menetapkan suatu perkara bukanlah menjadi tolok ukur bahwa perkara itu
benar dan baik. Tapi segala perkara harus ditimbang dan diukur dengan
wahyu (Al-Qur’an dan Sunnah).
Jika suatu perkara dikembalikan dan
diukur dengan pikiran dan ide kebanyakan orang, maka yakinlah bahwa
perkara-perkara itu akan banyak memiliki kekurangan dan pelanggaran;
jauh dari jalan Allah. Jadi, manusia –bagamanapun banyaknya- bukanlah
pengambil keputusan tertinggi, dan bukan sumber hukum tertinggi, karena
kebanyakan manusia jauh dari jalan Allah, dan memiliki sifat-sifat
buruk.
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka. Dan mereka tidak lain hanyalah berdusta”.( Al-An’am :116)
Ahli Tafsir Jazirah Arab, Al-Imam As-Sa’diy-rahimahullah- berkata, “Ayat
ini menunjukkan bahwa banyaknya pengikut tidak bisa menjadi dalil
kebenaran. Sebaliknya, sedikitnya pengikut tidak bisa dijadikan dalil
bahwa itulah yang batil. Bahkan kenyataan menunjukkan kebalikannya,
pelaku kebenaran sedikit jumlahnya, namun mereka besar kadar dan
pahalanya di sisi Allah. Bahkan yang wajib dijadikan dalil untuk
mengetahui kebenaran dan kebatilan adalah jalan-jalan yang bisa
mengantar kepada hal itu (yakni, Al-Qur’an). [Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman (hal 233)]
Allah -Ta’ala- berfirman,
“Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Yusuf: 40)
Kalau ada diantara manusia yang mengetahui kebenaran, maka mereka pun kebanyakannya membenci kebenaran itu. Allah berfirman,
“Sesungguhnya kami benar-benar telah memhawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu”. (QS. Az-Zukhruf :78).
Diantara sifat buruk pada mayoritas manusia, mereka tak mau beriman. Allah -Ta’ala- menyebutkan sifat buruk ini dalam firman-Nya,
“D an sebagian besarmanusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. (QS. Yusuf :103)
Selain itu, kebanyakan manusia tidak pandai bersyukur kepada Allah, bahkan banyak yang mengingkari nikmat-nikmat Allah. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Sesungguhnya allah mempunyai karunia terhadap manusia,tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur” (QS. Al-Baqarah:243)
Jika kita bandingkan antara orang yang
murni imannya (bertauhid) dengan kaum musyrik, maka kita mendapati orang
musyrik lebih banyak. Allah -Ta’ala- berfirman,
“ Dan sebagian besar dari mereka
tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah
(dengan sembahan-sembahan lain). (QS.Yusuf: 106)
Pembaca yang Budiman, Allah mengabarkan
tentang keadaan mayoritas manusia bahwa kebanyakannya tidak beriman,
tidak bersyukur, tidak mengetahui, dan kebanyakan menyekutukan Allah
serta benci kepada kebenaran. Lalu bagaimana mungkin memutuskan suatu
hukum dengan pendapat mayoritas?! Padahal banyak diketahui bahwa
mayoritas manusia sepakat untuk berbuat zhalim, melampaui batas, bahkan
ingkar kepada Allah.
Andaikan hak suara di parlemenyang mengatas namakan Islam ada 69 suara dan yang menyelisihinya juga 69 suara. Lalu
ditambah 1 suara dari orang kafir lagi dzolim, maka aspirasi yang
menyuarakan hukum Al-Qur’an akan kalah dan terbuang !!! Karena
dikalahkan oleh suara orang jahat tadi. Apakah perbuatan seperti ini
bijak?!! Sama sekali tidak bijak, andaikan mereka berpikir !!!
- Menyamaratakan Manusia
Dalam ajang demokrasi semua orang
posisinya sama; seorang ulama dan bertaqwa sama posisinya dengan orang
yang jahil lagi dzolim. Orang yang sholeh sama posisinya dengan seorang
pelacur; Pria sama kedudukannya dengan wanita. Demikianlah demokrasi,
adapun di dalam Islam, semua diposisikan secara proporsional. Allah
berfirman,
“Maka apakah patut kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang berdusta (orang kafir)?
Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan. (QS. Al-Qalam : 35-36)
Allah berfirman:
“Maka apakah orang yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama” . (QS. As-Sajdah : 18)
Allah -Ta’ala- berfirman membedakan dengan bijak antara pria & wanita,
“Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqoroh: 228).
Ayat-ayat ini merobohkan prinsip kesetaraan dan kesamaan yang terdapat dalam sistem demokrasi yang zholim
- Menghilangkan Prinsip Loyalitas
Al-Wala’ (loyalitas) dan Al-Bara’
(tidak loyalitas) merupakan salah satu asas yang sangat penting di
dalam islam. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan apa arti Al-Wala’ dan Al-Bara’. Al-Wala’ adalah cinta karena Allah dan saling tolong menolong karena Allah. Al-Bara’ adalah benci karena Allah dan saling bermusuhan karena Allah. Adapun dasar perkara ini, firman Allah:
“Wahai orang-orang beriman! janganlah
kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (orang yang dicintai)
dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah kamu ingin memberi alasan
yang jelas bagi Allah (untuk menyiksamu)? (QS.An-Nisaa’: 144)
Rasulullah bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلّهِ وَأَبْغَضَ لِلّهِ وَأَعْطَى لِلّهِ وَمَنَعَ لِلّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ
“Barang siapa yang mencintai karena
Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan karena
Allah, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya . [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (1864); di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami’ (5965)].
Jadi, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan
kita berloyal kepada orang-orang mukmin, dan membenci orang-orang kafir.
Adapun dalam demokrasi, sikap ini disingkirkan dan dijauhkan dengan
sejauh-jauhnya. Cinta dan benci tidaklah muncul karena Allah, namun muncul karena partai.
Jika sesuai dengan tujuan partai, maka ia akan dirangkul dan dicintai;
siapapun orangnya. Namun jika berseberangan dengan misi politiknya,
walaupun dia seorang muslim yang beriman, maka dia memusuhinya. Lahaulah walakuata illa billah
Sumber : Buletin
Jum’at Al-Atsariyyah edisi 85 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas.
Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong
Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu
Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul
Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah –
Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc.
Layout : Abu Dzikro. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham
Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)