Sabtu, 22 September 2012

SUDAH-KAH KITA BENAR-BENAR BER-SAKSI?


Saya bersaksi

Pada dunia maya (internet), baik melalui  email, chatting, milis,  forum diskusi, blog   kadang kita temui perdebatan dalam bidang agama dengan berbekal pemahaman maupun ilmu yang dipahami/diketahui.

Kita dapat pula temukan sebagian umat muslim gemar “mencela”, “menghujat”, “menilai”, “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya berdasarkan tingkat pemahaman mereka sendiri.

Padahal Allah telah sampaikan bahwa adanya perbedaan tingkat pemahaman / kompetensi pada muslim semata-mata semua itu merupakan kehendak Allah sebagaimana firmanNya yang artinya.
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269).

Insyaallah muslim yang sudah memahami dan mengupayakan ma’rifatullah tidak akan “mencela”, “menghujat”, “menilai” atau “menghakimi” saudara-saudara muslim lainnya, karena mereka sudah “merasakan”  dan “mengalami” makna “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain.

Sebagaimana yang disampaikan imam Al Qusyairi bahwa,
Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”.


Orang-orang yang terhijab tidak akan mampu “bersaksi”. Hijab itu meliputi antara lain nafsu hijab, dosa hijab, hubbub al-dunya hijab, cara pandang terhadap fiqh yang terlalu formalistik juga hijab, terjebaknya orang dalam kenikmatan ladzatul ‘ibadah,  sampai karomah juga hijab, dll. Salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain nggak kelihatan, bagaimana dia bisa “melihat” Allah ( “bersaksi”).

Orang-orang yang sibuk memperturutkan hawa nafsu adalah bukan sebenar-benarnya seorang syahid (penyaksi) pantaslah kalau mereka masih “mencari” “di mana Allah” atau “bagaimana Allah”. Celakalah mereka ! Semoga Allah memberikan pertolongan karunia pemahaman yang lebih baik kepada mereka.

Imam Al Qusyairi mengatakan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu  menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apap pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.

Secara syariat, seorang muslim sudah terpenuhi rukun Islam ketika telah dengan sungguh-sungguh mengucapkan “saya bersaksi” dalam kalimat syahadatain ( 2 kalimat syahadat). Sebaiknya kita tidak berpuas diri sebatas pengucapan atau pernyataan saja.
Bilakah manusia sebenar-benarnya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah ?

Setiap manusia sudah bersaksi bahwa Allah adalah sebagai Rabbnya ketika masih dalam alam kandungan. Sebagaimana yang disampaikan Allah dalam firman yang artinya.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan manusia (ketika bayi dalam kandungan) dalam keadaan suci dan bersih.
Ketika bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.
Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan ruhani bayi telah hidup sempurna.

Keadaan sebenar-benarnya bersaksi terjadi dikarenakan dalam keadaan suci dan bersih, ketika panca indera dan hawa nafsu (jasmani) belum mempengaruhi ruhani. Saat-saat manusia terhubung (wushul) dengan Allah SWT.

Jadi upaya yang harus dilakukan agar kita bisa merasakan dan mengalami sebenar-benarnya bersaksi  dan kembali terhubung (wushul) dengan Allah SWT adalah kembali bersih dan suci.  Upaya yang dilakukan adalah dengan bertaubat yang sungguh-sungguh, akhlak yang baik, adab yang mulia, mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs), mengenal diri, manajemen hati, sebagaimana upaya yang dilakukan oleh kaum sufi.

Sekarang kita dapat mengambil pelajaran (al-hikmah) dari perkataan Rasulullah SAW,  ”Pakailah pakaian yang baru, hiduplah dengan terpuji, dan matilah dalam keadaan mati syahid” (HR.Ibnu Majah), dengan makna mensucikan jiwa, akhlak yang baik, adab yang mulia dalam perjalanan hidup kita, mengantarkan kita kembali sebenar-benarnya bersaksi (syahid) sebagaimana pada awal mula kejadian kita (ketika bayi dalam kandungan).

Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan, agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Pahamlah kita kenapa muslim ketika selesai menjalankan ibadah puasa Ramadhan kembali dalam keadaan suci bersih, kembali fitri dengan kiasan “berbaju baru” yakni kemenangan menjaga hawa nafsu, mensucikan jiwa, berakhlak baik dan beradab mulia.  Namun sebagian umat muslim hanya memaknai secara lahiriah atau tekstual dengan mengenakan “baju baru” disaat hari raya Idul Fitri.  Akhlak adalah pakaian ruhani. Semakin  akhlaknya tambah bagus, pasti ruhaninya tambah bersih.

Begitu pula syarat syahnya sholat (mi’raj kaum muslim) adalah dengan bersuci atau berwudhu, yang diuraikan dalam thaharah.
“Tak akan diterima sholatnya orang yang ber-hadats sampai ia berwudhu’” . [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (135 & 6954), dan Muslim dalam Shohih-nya (536)]


Nasehat Syaikh Ibnu Athailllah
Betapa hati manusia akan menyinarkan cahaya, bila cermin hati kita masih memantulkan beraneka macam gambaran tentang alam kemakhlukan? Betapa seorang hamba mampu menjumpai Allah, padahal ia terbelenggu ke dalam syahwat. Bagaimana mungkin seorang hamba dengan keinginan kerasnya untuk masuk kehadirat Allah, padahal ia belum bersih dari janabat kelalaiannya. Bagaimana mungkin seorang hamba mampu memahami berbagai rahasia yang halus halus, padahal ia belum juga bertobat dari kesalahannya. ”


Wasssalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar